Archive | Hottest

Festival Ekonomi Syariah Kembali Hadir

Posted on 13 April 2009 by permodalanbmt

JAKARTA – Festival Ekonomi Syariah (FES) kembali hadir di tahun ini. Kegiatan ekshibisi yang bertujuan mempromosikan lembaga keuangan syariah ini akan berlangsung mulai hari ini, Rabu (4/2) hingga Minggu (8/2) di Jakarta Convention Center.

FES yang kali ini memiliki tema Menuju Indonesia Lebih Sejahtera merupakan bagian sosialisasi dan edukasi yang dilakukan Bank Indonesia untuk masyarakat umum. Dalam acara ini pun tak hanya diperkenalkan mengenai perbankan syariah, namun juga lembaga keuangan syariah lainnya, asosiasi syariah, produk dan gerakan ekonomi syariah.

Seluruh pelaku industri yang berbasis syariah pun ditargetkan ikut memeriahkan FES II ini. Tak hanya bank syariah, namun juga BPRS, BMT, Asuransi Syariah, perusahaan pembiayaan, badan zakat dan wakaf, konsultan syariah, lembaga pendidikan yang memiliki jurusan ekonomi syariah, pengusaha haji dan umroh, pelaku usaha ritel dan UMKM dan masyarakat umum. Sejumlah acara pun telah dipersiapkan diantaranya adalah gempita iB campaign, syariah family day, olimpiade ekonomi syariah, kompetisi debat ekonomi syariah, kompetisi foto, band, nasyid dan seminar.

Pertumbuhan perbankan syariah Indonesia yang mencatat prestasi cukup pesat dengan rata-rata pertumbuhan 60 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir membuat industri keuangan ini terus berkembang. Tercatat hingga November 2008 aset bank syariah mencapai sekitar Rp 47 triliun, meningkat Rp 12 triliun dari awal tahun 2008. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar sebagai penyedia produk dan jasa perbankan syariah dan instrument investasi berbasis syariah.

Selain itu pasar industri syariah di negara ini pun sangat besar mengingat 80 persen populasinya adalah Muslim. Untuk menjaring perhatian dan minat masyarakat inilah, BI menyelenggarakan FES. Dengan demikian diharapkan Grand Strategy BI terhadap pasar perbankan syariah Indonesia dapat menjadi yang paling atraktif di ASEAN tahun ini serta terkemuka di kawasan Asia Tenggara pada 2010.

Sejumlah pelaku industri syariah pun telah menyatakan keikutsertaannya sebagai peserta FES. Diantaranya adalah Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). Ketua AASI, M Shaifie Zein mengatakan pihaknya mendukung penuh kegiatan FES. Meski dampak terhadap minat masyarakat tak langsung terasa, namun sosialisasi ini akan membuat minat masyarakat tergugah akan ekonomi syariah. “Event ini sangat strategis untuk mengenalkan ekonomi syariah kepada masyarakat dan sebagai salah satu cara untuk mendorong pertumbuhan industri syariah di Indonesia,” kata Shaifie.

Secara nasional, Shaifie cukup optimis asuransi syariah dapat tumbuh sebesar 30 persen hingga 40 persen dengan perolehan premi sebesar Rp 2 triliun di 2009. Di 2007, asuransi syariah memperoleh premi sebesar Rp 1,2 triliun dengan total asset Rp 1,9 triliun. Sementara untuk hitungan premi 2008 belum terkumpul. Meski demikian, Shaifie cukup yakin asuransi syariah Indonesia bisa mencapai premi sekitar Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun di 2008, meski krisis ekonomi global tengah terjadi.

Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, Yuslam Fauzi mengatakan FES merupakan salah satu bentuk sosialisasi dan promosi yang diperlukan perbankan syariah demi mendorong dan mengenalkan industri ini kepada masyarakat. “Kegiatan ini merupakan upaya berjamaah dan mengandung sinergi yang kuat dibanding jika melakukan sosialisasi sendiri-sendiri,” kata Yuslam.

Untuk itu pihaknya pun mendukung terselenggaranya kegiatan ini dan ikut mengambil partisipasi. Yuslam mengatakan BSM pun akan memiliki stan yang agak eksklusif. Pasalnya agen penjual sukuk ritel ini juga akan menjual instrumen investasi tersebut di stannya.c67/kp

Sumber: www.republika.co.id

Berebut kue pembiayaan mikro

Posted on 13 April 2009 by permodalanbmt

Mengusung strategi pembukaan 400 Teras BRI di pasar-pasar tradisional tahun ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk tidak mau berlama-lama terlena dengan predikat penguasa pembiayaan sektor mikro.Apakah ini ancaman bagi PT Bank Danamon Indonesia Tbk yang lebih awal menjadikan pasar sebagai basis operasi Danamon Simpan Pinjam (DSP)?

Tanda-tanda BRI hendak merebut kembali sebagian kue pembiayaan mikro yang sempat turut dinikmati Danamon Simpan Pinjam sudah terasa sejak pertengahan 2008.

Bank ini memperkenalkan pemindai data elektronik (electronic data capture/EDC), yang menjadi peranti wajib para mantri-sebutan tenaga pemasaran bisnis mikro-keluar masuk pasar, menjemput dana nasabah untuk bayar cicilan atau menabung. EDC tidak lain adalah perangkat transaksi berbasis teknologi telekomunikasi seluler yang bisa dibawa bergerak (mobile). Jadi, fungsinya seperti teller berjalan, memudahkan nasabah bertransaksi tanda perlu datang ke kantor bank.

Pekan lalu, penggunaan EDC di-bundel dalam satu paket dalam kendali Teras BRI, diresmikan oleh Dirut Sofyan Basir, di pasar Tawangmangu, Karang Anyar, Jawa Tengah. Bila tak ada aral melintang, 200 Teras dibuka pada paruh pertama tahun ini, dan 200 sisanya pada semester berikutnya. Teras BRI menyedikan teller, customer service, dan account officer dilengkapi dengan EDC realtime online, sehingga uang akan langsung masuk ke sistem pembukuan BRI. Mengapa memilih pasar tradisional?

Direktur Operasional BRI Suprajarto menuturkan potensi bisnis di pasar tradisional sangat besar. Dia mengakui beberapa waktu lalu BRI sempat terlena, sehingga lahan bisnis itu dikuasai oleh bank lain. Kendati tanpa menyebut nama, bisa diduga yang dimaksud Suprajarto adalah Danamon Simpan Pinjam. Sebagaimana diakui oleh Direktur Bank Danamon Ali Yong, DSP memang fokus ke sektor perdagangan di sekitar pasar. “Setahu saya, pesaing utama DSP sejak awal adalah BRI. Makanya saya agak heran bila mereka kini masuk pasar tradisional. Mungkin yang dimaksud adalah revitalisasi bisnis saja,” komentar Ali, kepada Bisnis, kemarin.

BPR pesaingnya ?

Selain BRI, menurutnya, pesaing utama dalam memperebutkan kue pembiayaan mikro di lingkungan pasar tradisional adalah bank perkreditan rakyat. “Banyak bank lain juga masuk, tetapi yang terasa kuat bagi kami BRI dan BPR.” Bila merunut pendapat Ali, bank-bank lain memang makin meminati sektor mikro, kebanyakan dengan plafon kredit kurang dari Rp100 juta. Sebut saja PT Bank Mega Syariah Indonesia, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), The Hongkong Shanghai Bank Corporation (HSBC), Citibank, hingga PT Bank Mayapada Tbk. Namun, Citibank dan HSBC cenderung pada pembiayaan konsumer.

Alasan klise yang selalu mengemuka mengapa bank terjun ke sektor mikro adalah potensi masih terbuka lebar, debitor tahan banting, dan satu lagi-mungkin ini motif terbesarnya-pembiayaan mikro memberikan margin paling besar dibandingkan dengan jenis pembiayaan apa pun. DSP selama ini mengambil margin bunga bersih sebesar 11% dan Bank Mega Syariah malah menyebut padanan lebih dari itu. Bandingkan dengan margin industri perbankan Indonesia yang hanya 5,6%. BRI telah lama dinobatkan sebagai bank dengan net interest margin terbesar di Indonesia (bahkan di dunia). Ini karena fokus pada pembiayaan mikro.

Bank terbesar kedua di Indonesia itu kini mengelola 4.417 BRI Unit yang tersebar pada kota kecamatan di pelosok Tanah Air dengan total kredit per September 2008 sebesar Rp41 triliun. Bank Danamon hanya memerlukan waktu 5 tahun untuk membuka 1.049 DSP dan telah menyalurkan kredit tidak kurang dari Rp11 triliun, alias 16% dari total kredit perseroan.

BRI dalam banyak hal memang masih memimpin pasar pembiayaan mikro, apalagi bank ini juga mencatat sukses menyalurkan kredit usaha rakyat mikro (kurang dari Rp5 juta) sebesar Rp5,7 triliun untuk 1,48 juta nasabah hanya dalam 1 tahun. Berpengalaman lebih dari 100 tahun, membuat bank ini tahu bagaimana seharusnya menciptakan basis nasabah baru Namun, kehadiran DSP juga tidak bisa dianggap remeh, apalagi oleh pendatang baru, seperti Bank Mega Syariah dan BTPN. Bank yang disebut terakhir adalah contoh mutakhir bagaimana perang memperebutkan kue bisnis mikro terjadi.

Kita tentu masih ingat, bagaimana eksodus para bankir mikro terjadi di Bank Danamon tahun lalu. Para konseptor DSP secara bersama-sama melompat ke BTPN, untuk kemudian melakukan kloning layanan bisnis mikro lewat Mitra Usaha Rakyat (MUR). MUR dan DSP sekilas sebenarnya adalah unit usaha dengan konsep yang kurang lebih sama, hanya di bawah bendera perusahaan yang berbeda. Dalam 4 bulan terakhir ini, BTPN mengendalikan sedikitnya unit 110 MUR di berbagai tempat. “Makin banyak pemain di bisnis ini sebenarnya justru makin bagus.

Sejak tahun 2000, saya sudah mempelajari karakter bisnis ini, membandingkannya dengan sejumlah negara. Untuk pembiayaan mikro, Indonesia dengan kontribusi terbesar BRI, masih paling bagus,” tutur Jerry Ng, Dirut BTPN. Menurut Ali, membuka jaringan kantor untuk melayani para pengusaha mikro memerlukan investasi yang tidak kecil. Dia menyebut Rp400 juta untuk setiap unit DSP yang didirikan. Itu artinya Bank Danamon telah merogoh kocek tidak kurang dari Rp400 miliar untuk lebih dari 1.000 DSP. “Itu belum termasuk sistem di kantor pusat. Perlu 3 tahun untuk kembali modal, dan setidaknya 700 DSP untuk mencapai tingkat keekonomian.”

Sementara itu, Bank Mega Syariah telah mendirikan lebih dari 200 Mega Mitra Syariah (M2S) dalam 9 bulan terakhir ini. Bank Mega Syariah, sejak beberapa tahun terakhir ini berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pola pembiayaan bersama sebagai penopang bisnis. Bank itu, telah menentukan jalan di bisnis pembiayaan mikro.

“Potensi bisnis mikro masih besar, apalagi bila sebagai bank syariah kami ingin dekat dengan nasabah akar rumput. Tipikal bank syariah kan memang seperti itu,” tutur Benny Witjaksono, Dirut Bank Mega Syariah. Dia menargetkan M2M kembali modal hanya dalam 11 bulan. Untuk satu unit dengan sembilan karyawan, bank milik CT Corporation itu mengeluarkan dana investasi awal Rp400 juta. BNI gagal Namun, mengelola bisnis mikro tidak semudah dan semanis hasilnya seperti saat melihat Danamon dan  BRI menikmati buah kerja kerasnya.

Beberapa bank sebenarnya telah melakukan hal yang sama, tetapi menemui kegagalan. Pada 2001, PT Bank Negara Indonesia Tbk di bawah kepemimpinan Saefuddien Hasan telah merintis Unit Layanan Mikro (ULM). Konsep yang diusung kurang lebih sama, mendekat ke sektor perdagangan pasar tradisional. Namun, cikal bakal bisnis mikro BNI kandas saat Saifuddien digantikan oleh Sigit Promono.

Tidak ada penjelasan resmi mengapa unit bisnis itu dilikuidasi.

Terbetik kabar, ULM BNI banyak terjebak kredit macet, akibat keahlian menangani bisnis itu secara langsung sangat terbatas. Sebagai pengganti, BNI kemudian lebih banyak menjangkau para pengusaha mikro melalui linkage program dengan sejumlah BPR, sebuah langkah yang juga ditempuh oleh puluhan bank lain. Hanya saja, sebagian besar pemain bisnis mikro masih terlalu menggantungkan bisnis pada sisi pembiayaan.

Padahal, untuk menjamin keberlanjutan bisnis ini dalam jangka panjang, diperlukan keseimbangan penghimpunan dana dan kredit. Selain BRI, tak ada satu pun bank yang berani merilis secara gamblang berapa dana yang dihimpun dari masyarakat oleh unit bisnis mikro. Mega Syariah, seperti diakui Benny, baru fokus pada pembiayaan dalam menjalankan M2S. “Dalam jangka panjang, tidak bisa tidak bank memikirkan funding dari bisnis ini.

Memang sulit 100% ekspansi dibiayai dari unit bisnis ini, tapi itu harus diupayakan” tutur Jerry Ng. Dalam pandangannya keseimbangan sumber dana dan pembiayaan merupakan persyaratan dalam menjamin bisnis mikro bisa tetap berjalan. Di samping itu, tuturnya, dukungan berupa ketersediaan jaringan mutlak diperlukan.

Jerry Ng juga mengingatkan pentingnya kesabaran mengelola bisnis mikro. Sebab berkaca pada pengalaman, tidak semua bank memiliki hal ini. Jadi, tinggal kita tunggu siapa yang terus bertahan pada 5 atau 10 tahun mendatang.

www.bisnis.com oleh : Hery Trianto

Enam Aturan KSP atau USP Direvisi

Posted on 13 April 2009 by permodalanbmt

enam-aturan-ksp-atau-usp-direvisiJAKARTA – Kementerian Negara Koperasi dan UKM menyempurnakan sedikitnya enam peraturan tentang usaha simpan pinjam koperasi, seiring dengan dinamika industri jasa layanan keuangan mikro.

Agus Muharram, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, mengemukakan penyempurnaan itu merupakan bagian dari perbaikan agenda program pembangunan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2008. “Inpres tersebut terkait dengan fokus program ekonomi nasional Tahun 2008-2009, khususnya yang terkait program Kementerian Koperasi dan UKM,” kata Agus Muharram, akhir pekan lalu. Penyempurnaan pertama adalah tentang peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 19/Per/M.KUKM/XI/ 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Pelaksanaan kegiatan unit simpan pinjam (USP) oleh koperasi makin berkembang sesuai dengan dinamika dan perubahan tatanan ekonomi sosial masyarakat, menyusul penerbitan UU No. 2/1999. Oleh karena itu, SK No. 351/ Kep/M/XII/1998 disempurnakan. SK tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan kegiatan USP oleh koperasi untuk menyelaraskan perkembangan industri itu. Masyarakat diharapkan memperoleh manfaat dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya.

Penilaian kesehatan koperasi juga perlu disempurnakan. Kegiatan koperasi simpan pinjam perlu dikelola secara profesional sesuai dengan prinsip kehati-hatian sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat.

“Koperasi simpan pinjam [KSP]/USP koperasi sebagai lembaga keuangan harus mampu mengelola dana anggota, calon anggota dan anggota koperasi lain,” papar Agus.

Oleh Mulia Ginting Munthe
Bisnis Indonesia