Jakarta (28/9), Perbincangan tentang peran dan posisi koperasi dalam perekonomian Indonesia sering bersifat amat normatif, mengenai apa yang seharusnya. Hal demikian memang masih perlu diwacanakan terus menerus dengan advokasi dan determinasi yang kuat dari berbagai pihak yang masih peduli. Akan tetapi, jika berlarut-larut pada tataran itu belaka, maka tak akan efektif bagi gerakan koperasi. Biasanya, tak akan banyak yang menentang konsep normatif, seperti bahwa koperasi adalah soko guru perekonomian Indonesia, bahwa perekonomian nasional mustinya disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dimana koperasi adalah badan usaha yang paling cocok dikembangkan bagi rakyat banyak, dan seterusnya. Namun, koperasi kemudian “tidak terlihat” pada berbagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih “operasional” terkait pengelolaan perekonomian nasional. Lebih tak tampak lagi (bukannya tidak ada) dalam kebijakan perekonomian Pemerintah.
Sementara ini, komitmen Pemerintah beberapa periode kepemimpinan terhadap koperasi banyak yang bersifat slogan. Harus diakui, sudah ada upaya dan kebijakan yang dimaksud untuk mendukung revitalisasi dan kebangkitan, namun secara relative amat jauh dibandingkan perhatian kepada aspek lain dalam kebijakan ekonomi. Antara lain diindikasikan oleh alokasi anggaran (Belanja) Pemerintah Pusat berdasar fungsi maupun berdasar Organisasi (kementerian atau lembaga). Secara keseluruhan, komitmen itu pun masih kurang memadai untuk kondisi mutakhir yang dialami oleh gerakan koperasi Indonesia.
Salah satu perkembangan yang paling menarik adalah perkembangan koperasi simpan pinjam atau koperasi jasa keuangan, termasuk yang beroperasi berdasar syariah Islam. Berikutnya, kami akan memberi gambaran sedikit tentang BMT (Baitul Mal wa Tamwil) yang hampir seluruhnya merupakan koperasi.
Perkembangan gerakan BMT yang terbilang pesat itu sebenarnya belumlah optimal jika dilihat dari potensi yang jauh lebih besar. Ada banyak kendala dan tantangan dalam operasional BMT-BMT, serta masih belum ada dukungan penuh dari beberapa pihak yang sebetulnya dibutuhnkan. Keberadaannya pada “dua kaki”, sebagai lembaga keuangan mikro yang terkait erat dengan UMKM dan sebagai lembaga yang bersifat syariah, belum berhasil diramu menjadi keunggulan yang berkesinambungan. Pihak otoritas ekonomi dan Pemerintah Daerah masih terkesan lambat memberi dukungan, bahkan kadang menghambat dengan regulasi atau birokrasi yang tidak dilandasi pemahaman permasalahannya. Dari sisi internal BMT sendiri masih ada banyak kendala terkait permodalan, sistem operasional dan ketersediaan sumber daya insani yang memadai.
Di masa mendatang, yang telah dimulai sejak kini, berbagai tantangan telah menghadang BMT. Khususnya yang terkait erat dengan perkembangan kondisi eksternal, dimana sebagiannya harus dihadapi secara bersama. Tantangan tersebut antara lain meliputi: dinamika perekonomian nasional bahkan global, kemajuan teknologi dan komunikasi, kondisi sosial politik dan budaya, kesadaran praktik syariah dan lain sebagainya.
Satu catatan menarik dari dinamika BMT adalah hampir semua yang tumbuh pesat dan kemudian stabil serta berkembang secara lebih sustainabel adalah yang sedikit bahkan ada yang tak pernah mendapat “bantuan langsung” dari Pemerintah. Misalnya, bantuan permodalan.
Atas dasar pengalaman kawan-kawan di lingkungan Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center) dan komunikasi yang cukup intensif dengan pegiat Koperasi Simpan Pinjam lainnya, maka kami menyampaikan beberapa poin berikut ini;
Pertama, masalah sulitnya membangkitkan koperasi agar menjadi pelaku ekonomi utama adalah terkait erat dengan kondisi perekonomian Indonesia yang didominasi asing. Dominasi itu secara umum mengecilkan porsi ekonomi rakyat, yang berarti mempersempit ruang gerak koperasi.
Kedua, perkembangan kisah sukses koperasi dalam lima belas tahun terakhir ini banyak yang ditunjukkan oleh koperasi simpan pinjam (koperasi jasa keuangan), termasuk yang beroperasi secara syariah.
Ketiga, koperasi simpan pinjam (KSP) memiliki dinamika sedemikian rupa dalam satu dua dasawarsa ini yang membuatnya menghadapi banyak hal yang berbeda dengan jenis koperasi lain. Industri keuangan yang digiati memaksa persaingan, setidaknya irisan dengan perbankan, yang memiliki “aturan ketat”. Maka, aturan yang lebih rinci dan sangat mungkin undang-undang tersendiri adalah diperlukan.
Keempat, soal badan hukum dan organisasi tak banyak yang dipermasalahkan. Kemudahan mengurus badan hukum sudah cukup baik. Sedang penyempurnaan organisasi kebanyakan telah bisa diinisiasi oleh masing-masing koperasi atau oleh pihak asosiasi. Beberapa peraturan dan keputusan menteri juga sudah cukup jauh menterjemahkan undang-undang. Masalah paling krusial di sini adalah pengawasan, yang memang terasa masih lemah, khususnya terhadap KSP. Yang perlu dicatat, kami dari pegiat KSP Syariah justeru berharap pengawasan yang lebih baik dan “ketat”. Sebaiknya dalam proses penyusunan aturan main pengawasan melibatkan pihak KSP, dan dalam pelaksanaannya melibatkan pihak asosiasi.
Keenam, dalam hal permodalan adalah tidak sepenuhnya tepat stereotype mengenai koperasi kekurangan modal, khususnya bagi KSP. Masalahnya lebih kompleks dari itu. Amat berbeda antara KSP dengan koperasi jenis lain. Bantuan modal itu akan membantu atau malah mencelakakan juga bergantung dengan banyak “aspek teknis” nya.
Ketujuh, kami dari Perhimpunan BMT Indonesia mengusulkan agar UU Koperasi mengamanatkan bahwa harus ada Departemen yang mengurusi koperasi, bukan sekadar Kementerian. Ini erat kaitannya dengan soal bantuan dan peran Pemerintah dalam membangkitkan gerakan koperasi.
Kedelapan, apa pun bantuan Pemerintah sebaiknya memperhitungkan soal kemandirian koperasi dan berperspektif jangka panjang. Mengenai bimbingan Pemerintah, harus difahami bahwa dalam banyak hal pegiat koperasi justeru lebih mengerti persoalannya.
Semoga koperasi akan bangkit dan menjadi pelaku utama perekonomian Indonesia dan membawa seluruh rakyat Indonesia menjadi sejahtera.
ttd
AWALIL RIZKY
Very good