Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite II DPD RI 24 Januari 2011
Keuangan mikro sudah diakui merupakan hal yang sangat strategis dalam dinamika perekonomian Indonesia, khususnya bagi pengembangan ekonomi rakyat. Perannya sebagai “penyelamat” banyak usaha mikro pada saat krisis 1998 telah dicermati berbagai studi akademis. Wacana untuk lebih memastikan peran dan fungsi lembaga keuangan mikro pun semakin berkembang pada era reformasi. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dianggap suatu keniscayaan, dan sudah berulangkali diajukan berbagai pihak dalam sepuluh tahun terakhir ini. Setelah mengalami pasang surut pembahasan, pada tahun 2010 lalu, RUU LKM memasuki tahap yang berpeluang segera ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Latar belakang diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bisa diwakili oleh paragraf penutupnya dari bab Pendahuluan naskah akademik (NA) tahun 2010, yang berbunyi: ”Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum. Tetapi pengaturan dari aspek hukumnya belumlah jelas…..” (NA halaman 4)
Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center) berpandangan bahwa RUU LKM seharusnya didasari oleh lima hal utama. Pertama, disusun atas dasar pemahaman yang tepat mengenai bagaimana beroperasinya LKM saat ini. RUU harus menegaskan dan melegitimasi apa-apa yang baik dan bermanfaat buat rakyat banyak dan mengeliminasi hal-hal buruk. Kedua, harus dilandasi oleh UUD 1945 khususnya pasal-pasal tentang perekonomian. Ketiga, benar-benar bertujuan dan bermaterikan perlindungan kepada usaha mikro, bukannya member kesempatan kepada para pemilik modal besar untuk memperkuat dominasinya. Keempat, memberi perlindungan terhadap masyarakat, yang melakukan transaksi simpanan atau tabungan melalui LKM. Kelima, RUU itu harus visioner, bisa mengantisipasi perkembangan perekonomian di masa mendatang, khususnya yang terkait dengan LKM dan usaha mikro.
Sebagaimana umumnya, Naskah Akademik disusun antara lain sebagai dasar pemikiran yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis untuk pembuatan suatu peraturan hukum mengenai lembaga keuangan mikro, serta sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan, khususnya Anggota DPR RI dalam proses pembuatan undang-undang mengenai lembaga keuangan mikro (NA hal 7).
Perhimpunan BMT Indonesia menilai bahwa NA RUU LKM secara filosofis dan yuridis menggugat langsung UUD 1945 khususnya pasal 33, dan UU no 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Uraian Kerangka Hukum Koperasi dalam bab III tentang Definisi konsep dan asas yang digunakan dalam penyusunan norma, antara lain berbunyi: “Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota/pemilik koperasi karena kepentingan masing-masing dari mereka sangat beragam.”
Para penyusun naskah akademik tersebut diduga sangat tidak memahami koperasi, dan tak mengetahui upaya sungguh-sungguh para pegiat koperasi (konvensional maupun syariah) untuk memperbaiki diri secara terus menerus. Bahkan, mereka bisa saja dituding ingin melemahkan gerakan koperasi di Indonesia.
Yang sudah jelas, para penyusun naskah akademik tersebut tidak memiliki data yang akurat mengenai bagaimana LKM beroperasi saat ini. Hal itu diindikasikan oleh uraian Identifikasi Masalah (lihat NA halaman 4-7) yang akan dijawab oleh RUU ini. Akibatnya, terjadi kekeliruan dalam menentukan masalah apa yang harus diatur dan diselesaikan. Diantaranya mengenai soal bentuk hukum, ijin usaha atau ijin operasional, batasan modal, sistem manajemen usaha, sistem pendampingan dan lain sebagainya.
Ketidaktahuan dicerminkan pula oleh pengangkatan kasus tahun 2006 terkait BMT di Lampung dan Tegal (NA halaman 30) untuk mendukung kesimpulan operasional LKM yang meresahkan masyarakat. Jika demikian, kita bahkan bisa menggugat perbankan yang kasusnya justeru lebih dramatis. Tentu saja ada penyimpangan atau kasus BMT yang merugikan masyarakat, namun harus dianalisis secara proporsional. Pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat memang dibutuhkan untuk mengeliminasi kejadian serupa. Lagipula jika penalaran NA itu benar, mengapa BMT selama 5 tahun ini tumbuh melampaui tingkat pertumbuhan perbankan. Bukankah usaha di jasa keuangan terutama sekali bermodalkan kepercayaan masyarakat?
BMT Center mendukung perlunya aturan main yang lebih jelas dan rinci terkait operasional keuangan mikro. Disadari bahwa kepastian hukum akan menguntungkan semua pihak, terutama rakyat kecil. Naskah akademik cukup tepat mengatakan: “Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain (berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.” (NA halaman 27-28)
Perhimpunan BMT Indonesia berpandangan bahwa RUU LKM seharusnya merupakan RUU KOPERASI SIMPAN PINJAM. Sebagai pokok-pokok materi adalah dua Peraturan Menteri tentang koperasi yang sudah operasional dan merupakan penjabaran lebih rinci dari UU Perkoperasian, khusus yang terkait dengan usaha simpan pinjam. Ada Peraturan Menteri Nomor 14/Per/M.KUKM/VII/2006 tentang Petunjuk Teknis Dana Penjaminan Kredit Dan Pembiayaan Untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Ada pula Peraturan Menteri Nomor 06/Per/M.KUKMI/I/2007 tentang Petunjuk Teknis Program Pembiayaan Produktif Koperasi Dan Usaha Mikro (P3KUM) Pola Syariah. Tentu saja dibutuhkan penyesuaian kaidah formala sebagai UU, ditambah dengan perbaikan atas evaluasi perkembangan mutakhir serta pertimbangan yang visioner tentang perekonomian nasional, khususnya industri keuangan.
Secara lebih khusus, materi RUU LKM itu memang perlu disinkronkan dengan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Jika keuangan mikro akan dikembangkan secara lebih serius dan beroleh dukungan lebih besar dari semua pihak, maka signifikansinya atas jumlah uang yang beredar akan membesar pula.
Beberapa hal teknis yang dapat dilihat sebagai masalah krusial dalam RUU LKM antara lain adalah sebagai berikut:
Ada berbagai masalah terkait lainnya yang juga penting untuk dibicarakan. Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center) masih terus melakukan kajian dan mengawal pembahasan RUU LKM ini secara serius. Semoga Undang-Undang yang ditetapkan nantinya adalah yang terbaik bagi perekonomian Indonesia pada umumnya, ekonomi rakyat pada khususnya.
Jakarta, 24 Jauari 2011
Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center)
Awalil Rizky
Ketua II
sumber: Gibran