Wednesday, November 27, 2024 19:15

Komentar Atas Buku “Satanic Finance”

Posted by on Sunday, April 12, 2009, 19:29
This item was posted in Artikel and has 0 Comments

Isi dan pesan buku sangat jelas, yang dinyatakan dalam pernyataan lugas dan sederhana. Beberapa kalimat dalam kata pengantar penulisnya bahkan telah memberi kesimpulan sejak awal.

Perhatikan kalimat-kalimat berikut :

“Dunia penuh dengan orang yang papa. Yang buntung lebih banyak dari yang beruntung. Kesenjangan ekonomi dn kesejahteraan menganga…. Kesenjangan semakin lebar ketika krisis ekonomi datang bertubi-tubi ….. (hal viii)

..komentar-atas-buku-e2809csatanic-financee2809d.Apa yang dikira solusi, ternyata jebakan…..Dunia memasuki, apa yang disebut peraih nobel ekonomi, Robert Mundell, sebagai regim inflasi permanen. …Otoritas moneter berusaha mati-matian menghadang laju inflasi dengan kebijakan inflation targeting. Tapi secanggih apapun pendekatannya, tidak akan pernah memutus akar inflasi. Tak akan bisa menyandingkan sektor moneter dan riil berdampingan…..(hal ix)

Selama sistem yang sama masih dipergunakan, problem yang sekarang menghantui peradaban manusia tak akan pernah bisa diselesaikan…. Dari sinilah muncul kesadaran baru betapa sistem alternatif untuk menyelamatkan ekonomi dan peradaban manusia arus dikedepankan. Tidak ada kompromi. …(hal x)

Keprihatinan bahkan keputusasaan melihat keadaan ekonomi bangsa, khususnya nasib rakyat banyak, adalah pandangan lazim pada saat ini. Klaim keberhasilan ekonomi kebanyakan hanya disuarakan oleh pemerintah dan ekonom pendukungnya. Ekonom mainstreams yang kritis pun hanya memberi sedikit nilai positif pada beberapa indikator makroekonomi, namun tetap khawatir dengan kestabilan dan perkembangan dalam jangka panjang. Sementara itu, keadaan mikro serta fakta-fakta ekonomi diluar indikator makroekonomi standar selalu menjadi argumen kritik kepada para pengambil kebijakan.

Masalahnya, keprihatinan adalah suatu nuansa pandangan yang bersifat subyektif. Kita tidak ingin mengatakan subyektifitas dalam menilai fakta ekonomi sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima, melainkan masih perlu diperbandingkan dengan subyektifitas lainnya. Perbandingan antar pandangan pada akhirnya tetap membutuhkan tunjukkan kepada fakta. Memang akan ada kontroversi lagi ketika penyajian fakta ekonomi yang sangat banyak membutuhkan kategorisasi dan teknik statistika, yang ternyata juga mengandung bias perspektif. Sebagai contoh, mengapa angka pertumbuhan ekonomi dipilih sebagai fakta terpenting oleh suatu pandangan, dan angka kemiskinan serta pengangguran oleh pandangan lainnya. Ditambah lagi soal “kedalaman” dari masing-masing angka. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang bagaimana, kemiskinan yang diukur secara bagaimana, dan bekerja (tidak menganggur) semacam apa.

Buku ini tampaknya menganggap para pembaca adalah mereka yang juga amat prihatin kepada keadaan ekonomi Indonesia, sehingga tidak perlu diberi argumentasi (angka) tentang keadaan yang buruk tersebut. Penulis langsung mengajukan apa yang menurutnya menjadi penyebab keadaan. Istilah penyebab pun tidak dieksplorasi lebih jauh. Uraiannya lebih menunjuk pada variabel penting apa yang sebenarnya berada “dibalik” fakta ekonomi. Secara teknis, variabel itu sendiri adalah fakta ekonomi, namun penulis mengangkatnya menjadi faktor terpenting. Oleh karena faktanya tidak hanya bersifat statis, melainkan juga dinamis, penjelasannya mengandung unsur waktu (proses).

Sebagaimana dikutip di atas, fakta utama yang disodorkan adalah inflasi. Secara implisit dalam uraian, pengertian inflasi tidak hanya mencakup harga uang (rupiah) diukur dengan barang, melainkan juga dengan mata uang lain (kurs). Perkembangan inflasi lah yang menjadi alat utama proses pemburukan keadaan bagi rakyat kebanyakan.

Sedangkan yang dianggap sebagai “penyebab” adalah sistem ekonomi, tepatnya sistem moneter yang dipakai dunia saat ini (hal 8). Diuraikan bahwa sektor moneter tumbuh jauh meninggalkan sektor riil, sehingga pertumbuhan ekonomi yang seolah terjadi adalah ibarat balon yang dipompa, sehingga bisa meletus setiap saat. Setiap kali meledak akan menyisakan penderitaan panjang bagi manusia (hal 9-11).

Sistem yang dominan saat ini diceritakan sebagai bertumpu pada tiga pilar, yang terbentuk melalui proses (waktu) cukup panjang, namun bersifat revolusioner jika dilihat dari besaran perubahannya. Ada bunga (interest) yang telah dikenal sejak lama. Ada mata uang kertas (fiat money), serta persyaratan cadangan wajib (fractional reserve requirement). Ketiganya secara sendiri-sendiri, bersama-sama serta berjalin berkelindan, digambarkan sebagai pilar sekaligus motor dari perekonomian modern (hal 13-52).

Sebenarnya, mengedepankan inflasi sebagai masalah utama juga dilakukan oleh pandangan mainstreams economics. Buku teks makro populer seperti karya Mankiw memberi perhatian khusus tentangnya, termasuk mengenai seigniorage. Kebijakan terpenting yang direkomendasikan Washington Consensus (bisa dibaca sebagai neoliberalisme) ada­lah pengendalian inflasi. Seperti yang dikatakan Sitiglizt (2002), argumen ilmiah yang diajukan konsensus washington bersandar pada tiga premis dasar.

Pertama, inflasi menimbulkan biaya tinggi (costly) bagi per­eko­nomi­an sehingga harus bisa ditekan bahkan jika mungkin dihindari; kedua, ketika inflasi dibiarkan meningkat maka dia mempunyai kecenderungan untuk terus membumbung tanpa terkendali. Premis ini memberikan dorongan yang kuat bagi diberlakukannya tindakan dini pengendalian inflasi karena resiko kenaikan inflasi dipandang jauh lebih berbahaya jika dibandingkan efek negatif kebijakan anti-inflasi terhadap pertumbuhan output perekonomian dan tingkat pengangguran. Ketiga, premis terakhir bagi pengendalian inflasi adalah pandangan bahwa penurunan tingkat inflasi merupakan suatu upaya yang mahal. Ini menyebabkan upaya untuk menekan inflasi selalu lebih didahulukan ketimbang misalnya, penekanan tingkat pengangguran untuk menghindari resiko timbulnya resesi di kemudian hari ketika pengendalian inflasi harus dilakukan saat inflasi sudah jauh melambung.

Dengan demikian, penyodoran inflasi sebagai masalah pokok perekonomian saat ini adalah pandangan yang lazim. Hanya saja buku ini melangkah lebih jauh dengan menyalahkan sistem ekonomi (moneter)nya, sehingga tidak melihat adanya kemungkinan perbaikan yang berarti dan bersifat permanen dengan langkah atau kebijakan yang biasa disarankan oleh pandangan neoliberalis. Sebagai contoh, rekomendasi kebijakan yang umum adalah menggunakan instrumen serta indikator per­ekonomian yang sederhana, seperti tingkat inflasi, pertum­buh­­an pasokan uang (money supply), tingkat suku bunga, defisit anggaran dan perdagangan. Fokusnya pada isu-isu prioritas utama ekonomi makro, kemampuannya menciptakan kerangka yang mudah dipahami serta relatif bebas dari subjektivitas pengamatan individu dan memberikan batasan yang jelas dengan memusatkan informasinya semata pada prasyarat dasar pembangunan ekonomi. Tentu saja bagi buku Amin, semua itu nonsens dan semu.

Akan tetapi kita perlu mengetengahkan pandangan lain, yang melihat bahwa sebenarnya bagi banyak ne­gara berkembang seharusnya pengendalian inflasi bukan lagi men­jadi proritas yang mendesak, sebagaimana yang dikemukakan Stiglitz (2002). Menurutnya, fokus yang berlebihan terhadap inflasi tidak saja bisa mendistorsikan kebijakan ekonomi dengan menghambat pencapaian pertumbuhan penuh dari output potensial, namun juga menciptakan hambatan-hambatan kelembagaan yang bisa menurunkan fleksibilitas perekonomian tanpa menghasilkan keuntungan yang memadai.

Supaya lebih adil kita harus menempatkan pandangan Stiglitz pada apa yang mestinya bisa dilakukan oleh para pengambil kebijakan (pemerintah dan otoritas moneter) di dunia ketiga dan tak perlu selalu mengekor kepada opini konsensus washington. Bagaimanapun, Stiglitz bermaksud memberi kerangka kerja dengan menerima terlebih dahulu struktur dan infrastruktur ekonomi yang tersedia. Sedangkan buku Amin ingin membongkarnya terlebih dahulu baru bisa dibicarakan agenda kerjanya.

Alur uraian buku Amin sedikit menyimpang dengan mengemukakan soal jebakan utang, baik dalam perspektif individu maupun negara (hal 53-78). Ingin disodorkan bahwa ketiga pilar itu disokong oleh diterimanya utang sebagai sesuatu yang wajar bahkan dianggap sangat diperlukan dalam pengembangan ekonomi. Pada saat bersamaan, ketiga pilar akan membuat utang menjadi semacam jebakan bagi banyak orang dan banyak negara. Jebakan utang (dalam perspektif negara) tersebut saling menguatkan dengan diterimanya dolar sebagai alat pembayaran internasional yang paling utama, yang banyak dibahas sebagai alat dominasi Amerika Serikat di dunia (hal 79-100).

Tentu saja ada pihak, individu dan negara, yang diuntungkan dalam keseluruhan sistem yang digambarkan buku Amin. Namun menurutnya, ada jauh lebih banyak pihak yang menderita dan diperlakukan secara tidak adil. Rekomendasi terpenting Amin bersesuaian dengan argumennya, yakni menegakkan perekonomian yang didukung oleh mata uang yang sehat dan kuat seperti emas dan perak (hal 121), serta sistem keuangan yang bebas dari bunga (hal 126-135). Sedangkan soal fractional reserve requirement(FRR) hanya secara implisit disarankan untuk tidak dipakai (hal 138).

Secara keseluruhan buku Amin disajikan secara persuasif dan sugestif (sebagian pembaca akan menyebutnya sebagai provokatif), dimana seolah setan sendiri yang berbicara dengan para pembaca. Argumen bantahan pun kebanyakan berupa penuturan setan tentang adanya pendapat semacam itu. Sangat mungkin, Amin memiliki argumen yang lebih teknikal ekonomi dan keuangan, namun kurang terlihat dalam buku karena pendekatan yang demikian. Akibatnya, komentar tentang argumentasi teknis dari Amin agak sulit diberikan.

Dengan mengandalkan pembacaan atas apa yang tertulis dan yang tersirat menurut saya, beberapa komentar tambahan berikut akan diberikan. Pertama, argumen dalam buku ini cenderung ahistoris. Ketiga pilar setan, jebakan utang dan dominasi dolar Amerika dikedepankan sebagai variabel terpenting perekonomian saat ini, namun kurang jelas proses kesejarahannya, termasuk urutan kemunculannya. Beberapa diantaranya disebut sebagai sudah sangat lama. Fiat money sudah dikenal sejak abad kedua sebelum Masehi dan sangat populer pada abad ke-7 pada era dinasti Tang di Tiongkok. Bunga juga sudah dikenal lama dan bahkan lebih dahulu populer di semua belahan bumi. FRR tidak disebut waktu kemunculannya oleh buku, begitu juga dengan jebakan utang (perspektif negara) dan dominasi dolar. Dua variabel terakhir dalam faktanya jelas masih baru berumur beberapa dasawarsa, sedangkan yang pertama sekitar satu dua abad. Masalahnya adalah bagaimana kita memahami logika Amin tentang berjalin berkelindannya semua variabel tersebut, jika kemunculannya amat berjauhan waktu, dan tak mustahil bersifat coincident.

Saya menyetujui sebagian besar argumen Amin mengenai cara kerja kelima variabel tadi dalam konteks kekinian yang bermuara kepada dominasi Amerika dan atau segelintir orang di dunia. Begitu pula dengan hipotesa tentang dominasi sektor moneter, khususnya melalui liberalisasi keuangan di sebagian besar belahan bumi sebagai sumber penyakit perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Namun saya berpandangan argumen Amin terlampau bertumpu kepada itu saja, dan berlebihan dalam mengeksplorasinya. Selain soal ahistoris tadi kita bisa bias oleh cerita dimana seolah yang pertamakali diterima adalah soal uang kertas, dan yang menawarkan sistem hanyalah membawa mesin cetak uang. Padahal kita harus menempatkan masalahnya dalam konteks yang lebih luas, yakni perkembangan kapitalisme internasional.

Salah satu ciri kapitalisme yang relevan dalam pembahasan ini adalah ikhwal pengalihan surplus ekonomi kepada kaum pemilik modal, secara terus menerus. Surplus ekonomi itu kemudian diakumulasikan dan harus “disalurkan” kembali agar mendapat surplus berikutnya, yang juga diupayakan agar terjadi secara berkesinambungan (sustainable). Surplus ekono­mi itu setidaknya didapat dari rente ekonomi (bunga dan sewa) dan keuntungan usaha produksi. Pada awalnya lebih banyak didapat dari upaya produksi dan perdagangan domestik, baru kemudian tumbuh men­jadi bersifat internasional, baik dari sisi pasaran, maupun pasokan barang atau bahan baku. Belakangan, surplus lebih banyak diperoleh dari upaya yang tidak bersifat produktif secara langsung, melainkan melalui sektor keuangan. Ditunjang pula dengan berbagai institusi dan mekanisme perdagangan dan keuangan internasional, yang memungkinkan perolehan rente ekonomi (rent seeking), tanpa harus bersusah payah.

Dengan menelusuri mekanisme dasar dari perolehan surplus ekonomi itu, kita bisa mengerti tahap-tahap perkembangan kapital­isme, secara internasional. Masa merkantilisme (abad 16-17), di­mana yang diandalkan adalah suplus dari perdagangan barang, baik yang bersifat domestik ataupun yang telah bersifat internasional. Masa kolonialisme (abad 18-20), dimana selain surplus perdagangan juga dapat diperoleh surplus akibat penyerahan (perdagangan) pak­sa, tanam paksa, kerja paksa, atau pengurasan SDA tanpa harus mem­beri konsesi. Kolonialisme, dilihat dari sisi teknisnya, dapat juga disebut sebagai perdagangan yang dipaksakan. Masa pasca ke­merdeka­an (1950-1970an), ditandai dengan surplus dari perdagang­an internasional yang telah disempurnakan; diantaranya melalui “manipulasi” nilai tukar perdagangan, serta investasi langsung (PMA). Masa sekarang, yang sudah berlangsung tiga dasawarsa, dengan surplus dari sektor keuangan; melalui transaksi modal dam transaksi moneter. Tentu saja mekanisme perdagangan barang yang menguntungkan belum ditinggalkan.

Penelusuran akan mekanisme eksploitasi tersebut juga dapat me­mahamkan kita akan pertumbuhan lembaga atau institusi pe­nunjang kapitalisme. Negara-negara nasional (nation state), khusus­nya negara kaya seperti Amerika dan Inggris, tetap berperan dalam semua kurun. Korporasi raksasa yang bersifat multinasional (MNC, seperti perusahaan minyak raksasa) mulai tumbuh pada akhir abad 19, menggurita pada pertengahan abad 20, sampai dengan saat ini. Korporasi raksasa di sektor keuangan (Bank, perusahaan reksa dana, dsb) menggejala sejak pertengahan abad 20, dan sangat dominan pa­da saat ini. Beriringan dengan itu, secara internasional telah tumbuh berbagai pasar komoditi (bersifat amat spesifik seperti: minyak, emas, kopi, tembakau, gula, dsb); pasar uang (berbagai bentuk); dan pasar modal (seperti bursa saham). Dan jangan lupa yang ikut tumbuh pula adalah Bank pemberi utang resmi (Bank Dunia, ADB, dsb); lembaga keuangan internasional (terutama IMF); forum kerja­sama ekonomi internasional (seperti WTO); forum perbankan inter­nasional (seperti BIS); dan sebagainya.

Dan hanya jika dikaitkan dengan konteks tersebut, segala aliran pemikiran dalam kapitalisme dapat dikenali. Termasuk pula timbul tenggelamnya beberapa ide dasar dalam masing-masing aliran. Misalnya tentang porsi peran negara, terutama mengenai kebijakan fiskal, pengelolaan pendapatan dan belanja negara. Juga hanya dalam konteks pemikiran, kebijakan, serta pelaku utama dari masing-masing kurun waktu, maka kita dapat memahami secara lebih tepat tentang beberapa aliran da­lam kapitalisme. Aliran pemikiran dimaksud antara lain adalah: liberalisme klasik, keynesianisme, monetarisme, dan neoliberalisme. Beberapa varians yang lebih “teknis” sebetulnya juga dapat diidenti­fi­kasi, seperti: merkantilisme, aliran rational expectation, institusi­onal­isme, faham welfare state, utilitarianisme, dan sebagainya. Namun sebagian dari kumpulan gagasan tersebut telah diakomodir oleh aliran lainnya, atau telah diabaikan begitu saja.

Nah, saya kira buku Amin hanya menggambarkan satu fragmen dari model pengalihan surplus ekonomi. Bisa dilihat pula bahwa kelima variabel itu punya asal-usul, bahkan sebagian besarnya tidak asli (genuine) dari kapitalisme. Jika diterapkan secara sendiri-sendiri ataupun bersama namun tidak dalam konteks tingkat perkembangan kapitalisme tertentu, maka hasilnya akan lain. Cerita mengenai perubahan dahsyat dengan berbekal mesin cetak uang terasa berlebihan. FRR tidak akan bisa dijalankan begitu saja tanpa dominasi terlebih dahulu dalam sektor keuangan. Utang dan bunga tentu memiliki pangkal pada akses kepada modal, yang sebelumnya sudah terakumulasi melalui cara yang berbeda, yang terkait dengan perdagangan, eksploitasi SDA, dan penjajahan fisik.

Penggambaran yang amat terfragmentasi dan ahistoris tersebut bisa melemahkan arti rekomendasi yang diberikan. Sebagai contoh, penghapusan fiat money dan penerapan uang emas/perak sulit dibayangkan menjadi solusi dalam dominasi kapitalisme saat ini. Begitu pula dengan penghapusan FRR dan bunga. Sangat mungkin terjadi, sebagaimana yang selalu dikhawatirkan Amin sendiri, ide semacam ini bisa diakomodir oleh kapitalisme. Penolakan dolar sebagai alat pembayaran utama (apalagi satu-satunya) masih sangat nalar, dan secara nyata juga mulai terjadi perlawanan di mana-mana. Namun sebagian perlawanan bukan dengan mata uang emas, tetapi mengembangkan mata uang baru (bisa juga yang lama) dengan posisi yang lebih kuat. Bisa dipastikan emas/perak akan diterima secara luas jika diterapkan, namun apakah bisa ditopang oleh hubungan ekonomi internasional yang cukup kuat diantara para pengusungnya. Bagaimana jika uang emas/perak kita diterima, namun kita tetap harus menerima fiat money mereka, sehingga kita tetap dirugikan. Dengan kata lain, persoalannya bukan pada mata uang itu saja, namun juga pada perdagangan internasional itu sendiri.

Kedua, sebagian argumen buku Amin kurang akurat dan terlampau didramatisir. Misalnya soal FRR yang akan membuat jumlah uang beredar menjadi sembilan kali lipat. Secara buku teks memang demikian, namun lebih merujuk kepada potensi menjadikannya sebanyak itu, bukan pada realisasinya. Fiat money pun demikian, dimana kecenderungan saat ini adalah “mengatur”nya. Tentu saja saya setuju dengan fakta ketidakadilan bahwa The Fed sangat berkuasa dalam hal ini, juga kebanyakan bank sentral di berbagai negara.

Ketiga, buku Amin terlampau terpesona dengan uang emas/perak sebagai solusi. Apakah tidak mungkin mengekplorasi kemungkinan teknik lain dengan mempelajari kelebihan karakteristik, bukan pada zatnya. Tentu saja, sembari tetap mengoreksi kelemahan fiat money serta dominasi dolar. Sejauh argumen yang terlihat selalu terkait soal dampak inflatoir, volatilitas yang tinggi, dan kesewenang-wenangan The Fed (dan pencetak/pengganda uang lainnya). Ketika emas/perak terpaksa menjadi back up saja, tokh unsur kepercayaan (trust) juga yang dipakai sebagai dasar.

Keempat, saya setuju bahwa soal utang adalah masalah besar bagi banyak individu dan negara saat ini, termasuk Indonesia. Sejauh saya lihat di acara Oprah, masyarakat Amerika saja mulai kelimpungan dengan soal utang dan soal kecanduan belanja ini. Sementara itu, pertumbuhan kredit konsumsi (ditambah karti kredit) mulai mengerikan di Indonesia, namun sekaligus diakui sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, melalui mekanisme konsumsi agregat. Beban utang (cicilan dan bunga) utang pemerintah pusat tahun 2008 direncanakan lebih dari Rp196 triliun atau lebih dari seperempat penerimaan negara. Akan tetapi, buku Amin terlampau melebihkan soal bunga dalam hal ini. Sebagian transfer pricing ke luar negeri ataupun pengalihan surplus ekonomi kepada para pemodal (termasuk yang domestik) menggunakan berbagai teknik lainnya. Bisa saja suatu bantuan proyek berbunga sangat rendah (1-3% setahun) atau bahkan nol persen, namun teknik pelaksanaannya memungkinkan jenis transfer keuntungan yang lain. Sehingga solusinya adalah tidak bayar utang lama, tidak berutang lagi, atau sedikitnya bernegosiasi secara amat serius tentang hal itu.

Bagaimanapun, saya setuju dengan semangat keseluruhan buku ini, keadilan harus ditegakkan, dan kesejahteraan harusnya menjadi hak semua rakyat Indonesia, dan sistem ekonomi alternatif diperlukan segera. (AWALIL RIZKI)

Artikel ini pernah disampaikan dalam diskusi buku tanggal 18 Desember 2007 di UC UGM. Satanic Finance: True Concpiracies adalah karya A.Riawan Amin, diterbitkan oleh Celestial Publishing, Jakarta, April 2007

Awalil Rizki adalah Direktur Eksekutif Bright Institute, Jakarta dan Chief economist PT. Permodalan BMT Ventura, Jakarta

 

Comments are closed.