Tidak sulit untuk mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Ciri yang menyolok adalah soal sandang dan papan mereka. Soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan adalah ketidakcukupan pangan dan gizi. Soal kekurangan yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena kesulitan dana. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin.
Fenomena yang mudah diketahui secara awam itu ternyata justru sulit dipastikan pada tingkat agregat (keseluruhan) secara nasional dengan metode yang lebih ilmiah. Kontroversi biasa menyertai perhitungan jumlah orang dan keluarga miskin di Indonesia. Angka kemiskinan yang dipublikasi oleh BPS sebagai lembaga berwenang selalu menjadi bahan pro-kontra. Sebagai contoh, BPS (2007) mengumumkan angka kemiskinan pada tahun 2007 sebesar 16,58% atau terdapat 37,17 juta penduduk miskin di Indonesia, yang berarti terjadi penurunan sebesar 2,13 juta dari setahun sebelumnya. Pemerintah mengklaimnya sebagai hasil dari kebijakan ekonominya, sementara para pengkritik justeru meragukan data itu sendiri. Ada pengkritik yang menyoroti soal metodologi perhitungan, namun ada pula yang sampai kepada masalah kredibilitas dan independensi BPS, yang bahkan mengarah kepada teori konspirasi.
Garis Kemiskinan BPS dan World Bank :
Sebagaimana diakuinya, BPS (2006,2007) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
Setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinannya. Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang juga oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Selama ini GK selalu naik, dan hampir bisa dipastikan pula untuk tahun-tahun mendatang. Sumber data utama yang dipakai BPS untuk menentukan GK adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD). Sebagai contoh, GK pada bulan Maret 2007 adalah Rp.166.697,- per kapita per bulan. Sebetulnya yang secara praktis dipergunakan adalah garis kemiskinan menurut daerah, pedesaan atau perkotaan. Garis kemiskinan pada Maret 2007 untuk daerah pedesaan sebesar Rp.146.837,- sedangkan untuk daerah perkotaan sebesar Rp.187.942,-.
Keluarga miskin, biasanya disebut rumah tangga miskin (RTM), dihitung dengan cara serupa. Dengan anggota keluarga sebanyak empat orang (rata-rata di Indonesia) maka garisnya adalah empat kali GK itu sesuai dengan domisilinya, desa (Rp587.348) atau kota (Rp751.768).
Selain garis kemiskinan nasional yang diterbitkan BPS, ada pula garis yang cukup dikenal, yang biasa disebut sebagai “garis kemiskinan Bank Dunia”. Ukurannya adalah pendapatan US$2 per kapita setiap harinya. Hanya saja US$2 yang dimaksud bukanlah benar-benar nominal pada nilai tukar sekarang (atau sekitar Rp18.000), melainkan dua dolar yang sudah disesuaikan dengan dengan kemampuan daya beli masyarakat masing-masing negara. Dengan garis kemiskinan US$2-PPP (purchasing power parity) per hari ini, menurut laporan Bank Dunia (2007), tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 49.0% (hampir 110 juta jiwa). Sekitar 42 persen diantaranya berpendapatan di kisaran US$1-US$2. Sekitar 7% lagi berpenghasilan di bawah US$1, atau sangat miskin.
Yang cukup menarik adalah perbedaan perhitungan antar lembaga resmi di Indonesia sendiri. Sekalipun angka BPS menjadi acuan utama, namun berbagai program penanganan kemiskinan mengeluarkan data lain yang berbeda. Misalnya sempat terjadi perbedaan besar antara data untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program raskin, askeskin, dan PPK. Kemudian memang ada penjelasan bahwa sebagian program ditujukan pula untuk penduduk yang hampir miskin, namun tetap tidak bisa menutupi adanya kesulitan menghitung penduduk miskin. Bahkan, BPS (2006) menegaskan bahwa:
“Data kemiskinan hasil Susenas yang menghasilkan angka penduduk miskin sebesar 39,05 juta pada bulan Maret 2006, merupakan data kemiskinan yang bersifat makro. Data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan dimana alamat mereka, sehingga kurang operasional di lapangan…”
Keparahan Kemiskinan dan Kompleksitas Permasalahannya :
Tampaknya, BPS pun menyadari dan merasa perlu memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan, sehingga mempublikasikan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Namun karena kelemahan yang inheren dalam metode statistik, angkanya pun bersifat agregat dan rata-rata. Yang mungkin mengejutkan bagi banyak orang, Pada periode Maret 2006-Maret 2007, BPS melaporkan P1 dan P2 yang menunjukkan kecenderungan menurun. P1 turun dari 3,43 pada keadaan Maret 2006 menjadi 2,99 pada keadaaan Maret 2007, sedangkan P2 turun dari 1,00 menjadi 0,84 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
Terkait dengan angka kemiskinan dan indeks keparahan, sebenarnya sudah lama diketahui adanya fenomena mengenai penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor). Bank Dunia (2007) memastikan jumlah transient poor sangat besar. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari miskin menjadi hampir/tidak miskin dan sebaliknya. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Begitu pula sebaliknya, kebijakan instan bisa mengubah angka-angka, namun bersifat sangat sementara. Misalnya saja kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus, survei, dll) dilakukan pada saat itu maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS (juga Bank Dunia) tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit “diperbaiki”.
Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Kemiskinan di pedesaan tampak “lebih baik” daripada di perkotaan (menurut indeks P1 dan P2 BPS) jika kemiskinan dilihat sebagai angka-angka saja. Apabila analisa memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Di perkotaan, si miskin melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan.
Wajar ada pandangan bahwa ukuran kemiskinan harus dikaitkan secara erat dengan kondisi masing-masing masyarakat. Diperlukan definisi yang mengakomodasi pandangan orang miskin itu sendiri. Besar kemungkinan ada perbedaan antar wilayah dan antar budaya, yang jika diidentifikasi dengan baik akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Pendekatan yang selama ini digunakan meniscayakan adanya ciri-ciri kemiskinan yang dianggap bersifat objektif-universal, juga model penanggulangannya bersifat top-down dan seragam untuk semua kelompok sasaran. Padahal ciri-ciri kemiskinan dapat berbeda indikatornya dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Yahya dkk, 2007).
Terlepas dari angka BPS, kemiskinan secara ekonomi dapat dipandang mulai dari rendahnya tingkat pendapatan maupun dari dari sisi lemahnya akses terhadap sumberdaya dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok. Sebagai contoh, Friedman mengemukakan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kemampuan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial, yaitu: modal produktif atas asset, sumber keuangan yang memadai, organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pengetahuan atau pekerjaan serta penguasaan informasi yang bermanfaat untuk kehidupan.
Contoh pendekatan dengan perspektif ekonomi lainnya adalah yang dikemukakan Robert Chambers bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada kondisi yang disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Perangkap itu terdiri dari: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan. Semua unsur itu saling terkait satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan, serta mempersulit rakyat miskin untuk bangkit dari kemiskinannya.
Dalam wacana ilmu sosial berkembang pula beberapa istilah yang mencerminkan adanya kompleksitas masalah kemiskinan. Diantaranya adalah istilah kemiskinan struktural dan kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan struktural diartikan oleh Selo Soemardjan sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Istilah kebudayaan kemiskinan menekankan adanya kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan psikologis pada kaum miskin (Suparlan, 1984).
Belakangan ini wacana yang populer adalah mengaitkan kemiskinan dengan hak asasi manusia untuk melangsungkan kehidupannya secara layak. Pengertian kemiskinan ditekankan pada kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar dimaksud meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan secara layak, hidup dalam lingkungan yang sehat dan tidak kesulitan mengakses pelayanan kesehatan yang memadai, dapat mengakses lembaga pendidikan, dapat berpartisipasi dalam bidang pekerjaan dengan pendapatan yang memadai, mendiami rumah yang layak huni, tersedia air bersih yang cukup, kepemilikan dan kepenguasaan tanah yang terlindungi, aman dari perlakuan atau ancaman kekerasan, dan memiliki akses yang sama dengan warga lainnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Bank Dunia (2007) pun mengingatkan bahwa masalah kemiskinan dari segi non pendapatan (non-income poverty) lebih serius daripada sekadar rendahnya penghasilan dari kaum miskin di Indonesia. Yang dijadikan indikasi antara lain adalah: tingginya tingkat malnutrisi, tingkat kematian ibu pada setiap kelahiran bayi, rendahnya tingkat pendidikan formal yang dienyam kebanyakan penduduk, kesulitan akses kepada persediaan air bersih, dan masalah sanitasi yang akut.
Ada lagi banyak ukuran kesejahteraan, sekaligus ukuran kemiskinan, dari para ahli ekonomi pembangunan dan berbagai lembaga internasional. Diantaranya yang sering dibicarakan di Indonesia adalah indikator kunci pembangunan sosial ekonomi versi UNRISD (United Nations Research Institute on Social Development), Physical Quality Life Index (PQLI) yang diperkenalkan Morris, dan Human Development Index (HDI) dari UNDP. Yang jelas, dengan ukuran apa pun kondisi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir bisa dikatakan buruk. Jika yang dilihat hanya perubahannya saja, mungkin terdapat sedikit perbaikan dalam beberapa angka, namun jauh dari memadai bila memperhitungkan potensi kekayaan alam dan potensi manusiawi dari bangsa ini.
Komitmen resmi dan Program Kemiskikan dari Pemerintah :
Pemerintahan Presiden SBY sejak awal menyatakan komitmen untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009. Secara konsisten dalam berbagai kesempatan, komitmen ini diberi penekanan, seperti dalam Nota Keuangan, Pidato Kenegaraan, dan dokumen resmi lainnya. Sebagai implementasi, ada banyak program disertai kucuran dana yang telah dilaksanakan.
Untuk memberi gambaran, mari kita menengok sedikit ke belakang, dimana setelah terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden No.34/ 2001 junto No.8/2002 dibentuklah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Dan dengan alasan untuk lebih mempertajam keberadaan KPK, dikeluarkan Peraturan Presiden No.54/ 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. (AWALIL RIZKI)