Karanganyar, Solo (06/01) – Hubungan antara BMT dan Bank Syariah sampai saat ini masih terasa begitu baik, namun disisi lain ternyata masih ada ganjalan dalam hubungan diantara keduanya. Hal tersebut tak lepas dari pembagian “kue pasar”. Pasar yang seharunya menjadi ladang BMT, saat ini sudah mulai diambil alih oleh bank syariah.
“Saat ini kita harus memikirkan bagaimana menguatkan sinergi antara Bank Syariah dan BMT. Saat ini memang sinergi sudah baik, namun masih belum maksimal,” ungkap Jularso ketua asosiasi BMT Jawa Tengah. Lebih lanjut ia mengatakan hubungan antara keduanya harus ada take and give. Disatu sisi BMT mampu menyalurkan dana dari bank dan sisi lain persaingan pasar dapat dilakukan secara sehat.
Hubungan antara bank dan BMT saat ini dalam persoalan aturan adalah persaingan bukan sinergi. Kalau bersinergi mestinya saling dukung, tapi kenyataanya saat ini bank membuat produk-produk dengan sekmentasi yang mereka turunkan sampai pada level kekelas bawah. Idialnya bank umum di beri platfom, mereka tidak boleh membiayai dengan nilai dibawah 50 juta. “Ibarat sebuah kue kue ini perlu dibagi-bagi sesuai dengan proporsinya bukan malah berebut seperti ini,” tandasnya.
Bicara penyerapan dana BMT mempunyai kemampuan lebih besar. Dari 328 BMT tersebar di 35 kabupaten kota di jawa tengah, total aset yang dimiliki mencapai nilai sebesar 1.9 triliun rupiah. Bahkan dilihat dari NPF (Non Performing Finance) sudah teruji. Hampir nol persen yang bermasalah, kalaupun ada bmt bermasalah itu hanya dibawah satu persen ini bisa di konfrontir lewat berbagai bank yang ada. Dari beberapa hal BMT juga mempunyai kelebihan diantaranya.
Fungsi BMT lebih pada penyaluran dana ke masyarakat karena ada satu kelemahan bank yaitu tidak dapat menyentuh level-level kelas bawah. “Dari segi budaya perusahaan besar, mereka tidak mau melakukan hal yang rigid. Biasanya orang bank yang selalu menggunakan dasi manamungkin mau langsung ke masyarakat. tapi berbeda dengan BMT yang dibangun dan berasal dari masyarakat bawah mereka sering ketemu dengan pedagang kakilima. Sehingga secara psikologis tidak masalah,” imbuhnya.
Kebijakan :
Saat ini yang diperlukan oleh BMT adalah lembaga penjaminan dan pola penjaminan ini seharusnya dipikirkan oleh negara. “Kalau selama ini penjaminan hanya diperuntuhkkan bagi pengusaha atau bank-bank besar dan bersifat sementara, ditambah dengan kebijakan yang tidak permanen. Mestinya ada kebijakan permanen dan ada institusinya,” ungkap Jularso. Lebih lanjut ia mengungkapkan dahulu ada kebijakan tentang SUT surat utang negara. Hal tersebut juga didasari oleh kepentingan politis.
Menyangkut kepedulian terhadap ekonomi mikro sebenarnya fondasi UU menyangkut perekonomian koperasi. tapi kenyataanya tidakada peraturan peraturan lain yang mendukung UU tersebut. “Mestinya perhatian teradap masyarakat ekonomi mikro ini harus lebih tinggi, daripada pengusaha besar yang sudah mapan. Apalagi populasi juga lebih tinggi, serta kontribusinya yang sangat besar. Tapi kenyataanya justru perhatianya sangat kecil, ini kan lucu jadinya,” imbuhnya. (Amri Yahya).
Sumber: www.pkesinteraktif.com