Boleh jadi banyak dari pelaku pasar modal saat ini tidak enak makan dan tidur. Bukan lain masalahnya adalah krisis keuangan yang bermula dari negerinya paman Sam. Jelas krisis ini sangat menyakitkan bagi mereka. Menurut informasi, banyak di antara mereka yang saat ini sedang mengunggu lonceng kebangkrutannya.
Sejak krisis ini menyeruak sudah ada kerugian di kami hingga Rp 300 miliar, tidak ada pemasukan perusahaan sehingga beban operasional perusahaan dirasakan sangat berat sekali, menurut salah seorang pemilik perusahaan investasi yang namanya minta dirahasiakan ini.
Lain halnya dengan yang dialami oleh lembaga keuangan mikro semacam Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), sebuah lembaga keuangan mikro yang menggunakan prinsip tata kelola syariah dalam operasionalnya. CEO PT Permodalan BMT Ventura, Saat Suharto, mengatakan, sejauh ini belum terlihat pengaruh krisis keuangan global pada BMT, bahkan boleh dibilang sangat kecil kemungkinannya. Karena memang sejak awal disain idealisme BMT berada pada spektrum yang berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan yang saat ini meradang. BMT menggunakan sistem syariah dan berorientasi ke sektor usaha mikro dan kecil (UMK) sedangkan mereka konvensional-kapitalistik dan orientasinya ke korporasi.
Di kantornya, di bilangan Gatot Subroto, Saat, menunjukan data-data dari BMT-BMT di seluruh Indonesia. Bisa dilihat dari sini kalau repayment dari BMT ke kami stabil. NPL kami masih nol persen. Tidak ada kesulitan berarti bagi BMT dalam melakukan pengembalian pembiayaan dari kami. Selain itu bila dilihat permintaan pembiayaan juga masih tinggi, hingga September 2008 saja tercatat pembiayaan yang kami lakukan Rp 16,9 miliar meningkat dari Rp 3,6 miliar pada Desember 2007, tahun ini masih ada dua bulan lagi jadi saya duga jumlahnya akan bertambah lagi. Ini menunjukan ada hubungan yang sehat antara BMT dengan pihak anggota yang dibiayainya yang tidak lain adalah UMK.
Kebijakan pemerintah :
Disinggung mengenai beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baru-baru ini, dengan lugas, Saat, menjawab, tentang 10 langkah itu sebetulnya tidak ada yang baru. Semuanya masih bersifat normatif, dan tidak ada yang menyentuh lembaga keuangan mikro maupun UMK. Jadi jauh sekali pengaruh kebijakan itu dengan BMT apalagi dengan UMK. Apalagi memang krisis keuangan kali ini tidak ada keterkaitannya dengan bisnis BMT, permintaan pembiayaan masih besar. Begitu juga dengan sektor UMK, justru dampak kenaikan harga BBM lebih besar berpengaruh dari pada krisis ini.
Ketika ditanya perihal UMK yang selalu tahan menghadapi krisis, seperti yang terjadi pada 1997-1998, Awalil Rizky, chief economist BMT Ventura, memaparkan, itulah sebenarnya salah satu bukti bahwa pemerintah sudah lama tidak pro UMK. Lebih jauh, Awalil, menjelaskan, selama ini keberadaan UMK selalu dikaitkan dengan ketahanan mereka menghadai keadaan krisis. Bukan tidak tepat, pengaitan tersebut justru lebih banyak menuai dampak negatif bagi UMK. Karena setelah krisis selesai sektor ini kembali ditinggalkan, pengambil kebijakan kembali mengandalakan sektor usaha besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.
Sebenarnya, kalau pemerintah mau serius saja, sektor UMK dapat dioptimalkan kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan mengubah mindset kebijakan ekonomi yang bias modal, sehingga kurang melihat peluang pemanfaatan tenaga kerja yang diserap sektor ini dalam pertumbuhan ekonomi.
Senada dengan Awalil, Saat, memastikan pihaknya akan tetap menggerakan sektor UMK yang akan bertahan menghadapi krisis. Kebijakan pemerintah bisa membantu apabila difokuskan untuk menurunkan harga BBM, melakukan pembangunan infrastruktur, dan kemudahan berbisnis untuk UMK.
Press release mengenai hal ini dapat diklik di sini