Sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu tulisan (Instrumen Pembangunan) dalam buku ini mengenai pertanyaan bisakah zakat atasi kemiskinan? Maka jangan keburu gusar dengar kata tidak sebagai jawaban. Disebutkan satu alasannya adalah zakat hanya 2,5%, sedangkan masalah kemiskinan adalah akibat kebijakan, artinya terkait keharusan negara untuk menata seluruh sektor. Meskipun begitu, tulisan lain (Potensi Zakat Indonesia) mengilustrasikan perhitungan hipotetis yang masuk akal tentang potensi zakat yang mencapai Rp 32,4 triliun per tahun. Bagaimana jika zakat ditambah dengan infaq, sadaqah, waqaf dan fidyah (ziswaf)? Untuk konteks sekarang ini sumber pendanaan bisa ditambah dengan CSR dan dana haji (lihat Berhaji sambil Atasi Kemiskinan).
Sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu tulisan (Instrumen Pembangunan) dalam buku ini mengenai pertanyaan bisakah zakat atasi kemiskinan? Maka jangan keburu gusar dengar kata tidak sebagai jawaban. Disebutkan satu alasannya adalah zakat hanya 2,5%, sedangkan masalah kemiskinan adalah akibat kebijakan, artinya terkait keharusan negara untuk menata seluruh sektor. Meskipun begitu, tulisan lain (Potensi Zakat Indonesia) mengilustrasikan perhitungan hipotetis yang masuk akal tentang potensi zakat yang mencapai Rp 32,4 triliun per tahun. Bagaimana jika zakat ditambah dengan infaq, sadaqah, waqaf dan fidyah (ziswaf)? Untuk konteks sekarang ini sumber pendanaan bisa ditambah dengan CSR dan dana haji (lihat Berhaji sambil Atasi Kemiskinan).
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa potensi sumber pendanaan dari Ziswaf saja, yang peruntukkannya jelas terkait dengan penanganan kemiskinan, adalah sangat besar di Indonesia. Tampaknya, realisasi dari potensi itu belum sesuai harapan. Akibatnya, para pegiat ziswaf sering tergoda menyimpulkan akan kurangnya kesadaran para muslim dalam hal ini. Penalarannya, mengapa tidak tercapai jumlah yang puluhan triliunan rupiah, sesuai potensi. Bisa ditambahkan dengan keberadaan angka kemiskinan BPS yang masih tinggi.
Seyogyanya kita berhati-hati dengan estimasi atas tingkat realisasi tersebut, mengingat ziswaf di Indonesia umumnya masih disalurkan dengan berbagai cara. Bahkan datanya saja sulit untuk diagregasi. Meskipun ada insentif untuk pengurangan bagi penghasilan kena pajak, sedikit sekali individu yang melaporkan semua pengeluaran jenis ini. Ada banyak faktor terkait, dari soal psikologis sampai dengan administratif. Lihat saja fakta dana yang masuk via berbagai BAZ dan LAZ, yang hanya dikisaran satuan atau puluhan miliar rupiah (lihat Agenda Yang Tak Kunjung Usai). Namun tidak bisa dipastikan samasekali berapa banyaknya ziswaf yang benar-benar dikeluarkan oleh kaum muslim di Indonesia dalam setahun.
Andai ada yang mengemukakan angka puluhan triliun pun, sebenarnya masih cukup masuk akal. Umpama dikatakan bahwa sebagian besarnya dikeluarkan tanpa melalui BAZ atau LAZ. Lho, kok angka kemiskinan masih tetap tinggi? Dijawab bahwa akan lebih tinggi lagi jika kaum muslim Indonesia tidak mengeluarkan ziswaf yang besar. Bagaimana dengan info tentang kesulitan lembaga-lembaga sosial Islami seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya termasuk BAZ dan LAZ dalam menghimpun dana? Di sini tersiratlah permasalahan lain, yaitu soal pengelolaan Ziswaf.
Pengertian pengelolaan meliputi aspek yang luas, dari segi penghimpunan sampai penyaluran, dari masalah konsepsional sampai dengan yang operasional, serta soal kredibilitas lembaga maupun para pegiatnya. Sekalipun terpisah dan kadang terulang, buku ini membahas banyak aspek berkenaan soal yang amat penting ini.
Sebagai contoh adalah bagaimana pengaturan lembaga Pengelola Zakat (lihat Agenda Yang Tak Kunjung Usai). Tulisan itu bahkan mensiyalir bahwa UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat seolah berjalan di tempat, tak efektif mengkondisikan masyarakat buat berzakat. Ada beberapa klausul UU yang mengabaikan kebutuhan masyarakat, khususnya lembaga yang telah eksis mengelola zakat. Disamping itu, sempat terbesit harapan agar UU menyediakan sanksi kepada ingkar muzaki (muslim kaya yang tak mengeluarkan zakat).
Alih-alih demikian, UU justeru hanya menyediakan sangsi kepada LPZ (Lembaga Pengelola Zakat) yang menyimpang. Sebagai langkah awal pembenahan, masih bisa diterima. Masalahnya, menurut tulisan itu, dalam kondisi bad trust society, UU mengizinkan pemerintah membentuk BAZ tanpa fit and propper test. Dengan kemudahan pembentukan BAZ bahkan hingga tingkat kecamatan, lembaga yang dibentuk pemerintah cuma formalitas. Sisi profesional dikesampingkan, akibatnya bakal buruk. Maka sejak lahir BAZ berpotensi kena sanksi. Jatuhnya sanksi bukankah tak harus menyimpangkan uang. Lantas, bagaimana mekanismenya UU harus memberi sanksi dengan menutup begitu banyak BAZ yang masih lelap tidur? Tulisan itu menengarai perlakuan yang kurang fair bagi LAZ yang eksis sebelum UU lahir, yang telah melakukan fit and propper test pada calon-calon pengelolanya.
Singkat kata, keterlibatan negara dalam ziswaf (terutama zakat) bagai pisau bermata dua. Hampir semua analisa (dari aspek normatif maupun dari kondisi riil) merekomendasikan keterlibatan negara (pemerintah). Masalahnya, kelemahan birokrasi juga akan terbawa serta. Persoalan semacam ini disadari oleh beberapa tulisan di buku ini, salah satunya (Penataan Zakat di Indonesia) mencoba menempatkan soal kelembagaan pengelolaan zakat secara lebih proporsional.
Masih terkait dengan soal pengelolaan ziswaf, menarik untuk menyimak tulisan dari social worker ke social entrepreneur. Tampak bahwa masalahnya tidak hanya pada soal kelembagaan, melainkan juga pada sumber manusiawi para pegiatnya. Tingkat keberhasilan pengelolaan ziswaf mensyaratkan adanya sejumlah pegiat yang memiliki karakteristik social entrepreneur, diantaranya adalah sikap visioner. Pemakaian istilah tersebut dapat pula dilihat sebagai pesan agar para pengelola ziswaf memiliki karakteristik standar yang sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Jika kita kembali kepada pertanyaan subjudul di atas: Akan efektifkah Ziswaf sebagai program anti kemiskinan? Maka jawabannya adalah efektif jika berbagai hal (rekomendasi) yang dibahas dalam buku ini dijalankan. Sebagiannya sudah kita singgung serba sedikit. Buku ini pun menyebutkan bahwa Zakat, infak wakaf dan fidyah punya karakter yang berbeda. Asal usul, pengelolaan dan pemetik manfaatnya juga berbeda. Sebagai contoh, karena wajib, zakat adalah produk. Muzaki yang lalai, bakal terkena sanksi. Infak boleh dikatakan separuh produk. Karena sunah, infak bisa keluar jika tawaran programnya sesuai hati donatur. Semakin baik program, makin banyak infak yang dihimpun. Ditilik dari status hukum, kedudukan wakaf tak beda dengan infak. Hanya wakaf lebih khusus lagi, dan akan sangat efektif jika dipakai oleh program yang inovatif dan visioner.
Tentu saja, saya dan buku ini (sejauh yang saya fahami) mengartikan efektifitas itu dalam makna mengurangi secara sangat signifikan dibandingkan seandainya tidak ada ziswaf atau dibandingkan dengan jika ziswaf dikelola secara tidak memadai. Catatannya, kiat penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam yang disebut buku ini, antara lain menyebut: bekerja, jaminan sanak famili, jaminan negara dan ziswaf.
Sebagaimana sudah dibahas, kemiskinan adalah masalah yang kompleks dimana salah satu kata kuncinya adalah pemiskinan. Selama (proses) pemiskinan itu berlangsung, maka program kemiskinan apa pun hanya akan bersifat mengurangi akibatnya. Dengan semangat yang sama, sebagian tulisan (misalnya Kemiskinan adalah Tradisi) dalam buku juga mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah serta perilaku banyak korporasi besar (seperti perbankan terkait dengan BLBI, SBI dan SUN).
Mungkin kalimat yang lebih bisa diterima adalah cukup efektifnya ziswaf sebagai program (pengurangan) kemiskinan jika segala sesuatunya dijalankan dengan baik.
Mestinya akan timbul pertanyaan seberapa efektif jika dibandingkan dengan program kemiskinan pemerintah? Kita sudah membahas soal ketidakefektifan program pemerintah dan menyinggung beberapa jenis kesalahan yang dilakukan. Terlepas dari soal pemiskinan (biarpun merupakan hal terpenting, sementara diterima dahulu sebagai datum untuk keperluan analisa), apa argumennya jika ziswaf dianggap lebih efektif?
Sebagian isi buku bisa memberikan jawabannya. Dalam pengantar ini, saya akan menyebut ulang sedikit soal kesalahan pemerintah, dan membandingkannya dengan beberapa hal terkait ziswaf.
Pertama, soal kesalahan pendataan bisa dieliminir dalam ziswaf. Alasannya, ziswaf lebih terdesentralisasi dengan basis komunitas. Adapun yang bersifat program (misalnya wakaf) juga sangat spesifik. Soal sentralisasi dalam pengelolaan ziswaf yang masih dikeluhkan adalah agregasi data dan teknik distribusi antar lembaga yang surplus dan kekurangan saja, bukan pada kesulitan mengidentifikasi para penerimanya.
Kedua, soal indikator keberhasilan program kemiskinan pemerintah yang sering tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Selain itu, ada tumpang tindih program, rebutan klaim sasaran, serta klaim keberhasilan. Lokasi dan masyarakat yang sama biasa dinyatakan sebagai hasil dari program yang berbeda, bahkan cenderung dicari yang berpotensi demikian. Kesalahan jenis ini lebih kecil kemungkinan terjadinya pada ziswaf, mengingat kebutuhan untuk indikator keberhasilan yang mengarah kepada soal penganggaran tidak diperlukan. Sebagai contoh, Zakat justeru harus bersifat dinamis dimana kondisi kekiniannya si penerima memang relevan. Wakaf hanya dimungkinkan meningkat jika hasil-hasil nyata (maupun perencanaannya ke depan) memuaskan para waqif (termasuk BAZ/LAZ).
Ketiga, soal kesalahan program Pemerintah yang terkesan sering melihat soal kemiskinan pada faktor internal kaum miskin, dan memiliki bawaan charity. Dampaknya sering berkepanjangan dan kontraproduktif. Misalnya saja soal dana bergulir yang akhirnya macet. Jika ziswaf dikelola dengan benar, maka para penerimanya bisa berdiri tegak (sejajar) dengan para pemberinya, karena memang sudah merupakan hak dan kewajiban (sekalipun sebagian hukum fiqhnya adalah sunnah). Ada kehormatan yang seyogyanya tetap dimiliki si miskin, sehingga ada motivasi untuk suatu saat menjadi pihak pemberi. Selain itu, dasar pemikirannya adalah soal kemiskinan terkait dengan soal kekayaan (meskipun didapat dengan cara halal).
Keempat, berbagai kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan program turut memperparah keadaan. Budaya banyak aparat yang memperlakukan program sebagai “proyek” atau lumbung penghasilan baru, selalu menjadi sasaran kritik masyarakat di mana-mana. Sekalipun isyu pemberantasan KKN terdengar nyaring, peristiwanya tetap berlangsung. Dari yang sangat sederhana berupa pungli atau penentuan yang pilih kasih (kasus raskin, BLT,dll), sampai dengan yang lebih halus. Contoh yang halus adalah jika sebagian penggunaan anggaran sudah sesuai dengan peruntukannya, padahal sebenarnya menyembunyikan inefisiensi. Sebut saja dana sosialisasi program, yang di dalamnya ada soal pencetakkan buku pedoman, pengelolaan situs, pengadaan banyak forum ilmiah atau pertemuan dengan pihak terkait, dan lain sebagainya. Ada yang dengan sinis mengatakan bahwa program kemiskinan lebih menguntungkan bagi pelaksana program daripada penduduk miskin itu sendiri.
Kesalahan jenis ini juga lebih mungkin dihindari setidaknya dikurangi dalam pengelolaan ziswaf. Tambahan sangsi moral, selain sangsi hukum positif, jelas memberi sumbangan positif. Barangkali yang harus dibenahi adalah aspek profesionalisme saja sehingga kesalahan yang “tidak sengaja” pun dicegah, serta pengembangan program (terutama wakaf) yang lebih inovatif dan visioner.
Sekali lagi ditegaskan bahwa selain soal pemiskinan (terkait kebijakan ekonomi), ziswaf menjanjikan potensi yang lebih baik daripada program kemiskinan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Sebagian argumen memang bersifat hipotetis, namun tetap didasari oleh keunggulan konsep dan pelaksanaan pengelolaan ziswaf yang telah ada. Soal jumlah penghimpunan dana yang masih terlihat kecil (ingat soal data agregat di atas) justeru makin menunjukkan efektifitas dan efisiensinya. Jika ada political will dari pemerintah (melalui regulasi), bisa saja ziswaf dikedepankan menjadi program kemiskinan di Indonesia. Asal keburukan birokrasi sebagai bawaannya tidak diikutkan, dan itu dapat dicarikan konsepsinya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa potensi sumber pendanaan dari Ziswaf saja, yang peruntukkannya jelas terkait dengan penanganan kemiskinan, adalah sangat besar di Indonesia. Tampaknya, realisasi dari potensi itu belum sesuai harapan. Akibatnya, para pegiat ziswaf sering tergoda menyimpulkan akan kurangnya kesadaran para muslim dalam hal ini. Penalarannya, mengapa tidak tercapai jumlah yang puluhan triliunan rupiah, sesuai potensi. Bisa ditambahkan dengan keberadaan angka kemiskinan BPS yang masih tinggi.
Seyogyanya kita berhati-hati dengan estimasi atas tingkat realisasi tersebut, mengingat ziswaf di Indonesia umumnya masih disalurkan dengan berbagai cara. Bahkan datanya saja sulit untuk diagregasi. Meskipun ada insentif untuk pengurangan bagi penghasilan kena pajak, sedikit sekali individu yang melaporkan semua pengeluaran jenis ini. Ada banyak faktor terkait, dari soal psikologis sampai dengan administratif. Lihat saja fakta dana yang masuk via berbagai BAZ dan LAZ, yang hanya dikisaran satuan atau puluhan miliar rupiah (lihat Agenda Yang Tak Kunjung Usai). Namun tidak bisa dipastikan samasekali berapa banyaknya ziswaf yang benar-benar dikeluarkan oleh kaum muslim di Indonesia dalam setahun.
Andai ada yang mengemukakan angka puluhan triliun pun, sebenarnya masih cukup masuk akal. Umpama dikatakan bahwa sebagian besarnya dikeluarkan tanpa melalui BAZ atau LAZ. Lho, kok angka kemiskinan masih tetap tinggi? Dijawab bahwa akan lebih tinggi lagi jika kaum muslim Indonesia tidak mengeluarkan ziswaf yang besar. Bagaimana dengan info tentang kesulitan lembaga-lembaga sosial Islami seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya termasuk BAZ dan LAZ dalam menghimpun dana? Di sini tersiratlah permasalahan lain, yaitu soal pengelolaan Ziswaf.
Pengertian pengelolaan meliputi aspek yang luas, dari segi penghimpunan sampai penyaluran, dari masalah konsepsional sampai dengan yang operasional, serta soal kredibilitas lembaga maupun para pegiatnya. Sekalipun terpisah dan kadang terulang, buku ini membahas banyak aspek berkenaan soal yang amat penting ini.
Sebagai contoh adalah bagaimana pengaturan lembaga Pengelola Zakat (lihat Agenda Yang Tak Kunjung Usai). Tulisan itu bahkan mensiyalir bahwa UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat seolah berjalan di tempat, tak efektif mengkondisikan masyarakat buat berzakat. Ada beberapa klausul UU yang mengabaikan kebutuhan masyarakat, khususnya lembaga yang telah eksis mengelola zakat. Disamping itu, sempat terbesit harapan agar UU menyediakan sanksi kepada ingkar muzaki (muslim kaya yang tak mengeluarkan zakat).
Alih-alih demikian, UU justeru hanya menyediakan sangsi kepada LPZ (Lembaga Pengelola Zakat) yang menyimpang. Sebagai langkah awal pembenahan, masih bisa diterima. Masalahnya, menurut tulisan itu, dalam kondisi bad trust society, UU mengizinkan pemerintah membentuk BAZ tanpa fit and propper test. Dengan kemudahan pembentukan BAZ bahkan hingga tingkat kecamatan, lembaga yang dibentuk pemerintah cuma formalitas. Sisi profesional dikesampingkan, akibatnya bakal buruk. Maka sejak lahir BAZ berpotensi kena sanksi. Jatuhnya sanksi bukankah tak harus menyimpangkan uang. Lantas, bagaimana mekanismenya UU harus memberi sanksi dengan menutup begitu banyak BAZ yang masih lelap tidur? Tulisan itu menengarai perlakuan yang kurang fair bagi LAZ yang eksis sebelum UU lahir, yang telah melakukan fit and propper test pada calon-calon pengelolanya.
Singkat kata, keterlibatan negara dalam ziswaf (terutama zakat) bagai pisau bermata dua. Hampir semua analisa (dari aspek normatif maupun dari kondisi riil) merekomendasikan keterlibatan negara (pemerintah). Masalahnya, kelemahan birokrasi juga akan terbawa serta. Persoalan semacam ini disadari oleh beberapa tulisan di buku ini, salah satunya (Penataan Zakat di Indonesia) mencoba menempatkan soal kelembagaan pengelolaan zakat secara lebih proporsional.
Masih terkait dengan soal pengelolaan ziswaf, menarik untuk menyimak tulisan dari social worker ke social entrepreneur. Tampak bahwa masalahnya tidak hanya pada soal kelembagaan, melainkan juga pada sumber manusiawi para pegiatnya. Tingkat keberhasilan pengelolaan ziswaf mensyaratkan adanya sejumlah pegiat yang memiliki karakteristik social entrepreneur, diantaranya adalah sikap visioner. Pemakaian istilah tersebut dapat pula dilihat sebagai pesan agar para pengelola ziswaf memiliki karakteristik standar yang sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Jika kita kembali kepada pertanyaan subjudul di atas: Akan efektifkah Ziswaf sebagai program anti kemiskinan? Maka jawabannya adalah efektif jika berbagai hal (rekomendasi) yang dibahas dalam buku ini dijalankan. Sebagiannya sudah kita singgung serba sedikit. Buku ini pun menyebutkan bahwa Zakat, infak wakaf dan fidyah punya karakter yang berbeda. Asal usul, pengelolaan dan pemetik manfaatnya juga berbeda. Sebagai contoh, karena wajib, zakat adalah produk. Muzaki yang lalai, bakal terkena sanksi. Infak boleh dikatakan separuh produk. Karena sunah, infak bisa keluar jika tawaran programnya sesuai hati donatur. Semakin baik program, makin banyak infak yang dihimpun. Ditilik dari status hukum, kedudukan wakaf tak beda dengan infak. Hanya wakaf lebih khusus lagi, dan akan sangat efektif jika dipakai oleh program yang inovatif dan visioner.
Tentu saja, saya dan buku ini (sejauh yang saya fahami) mengartikan efektifitas itu dalam makna mengurangi secara sangat signifikan dibandingkan seandainya tidak ada ziswaf atau dibandingkan dengan jika ziswaf dikelola secara tidak memadai. Catatannya, kiat penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam yang disebut buku ini, antara lain menyebut: bekerja, jaminan sanak famili, jaminan negara dan ziswaf.
Sebagaimana sudah dibahas, kemiskinan adalah masalah yang kompleks dimana salah satu kata kuncinya adalah pemiskinan. Selama (proses) pemiskinan itu berlangsung, maka program kemiskinan apa pun hanya akan bersifat mengurangi akibatnya. Dengan semangat yang sama, sebagian tulisan (misalnya Kemiskinan adalah Tradisi) dalam buku juga mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah serta perilaku banyak korporasi besar (seperti perbankan terkait dengan BLBI, SBI dan SUN).
Mungkin kalimat yang lebih bisa diterima adalah cukup efektifnya ziswaf sebagai program (pengurangan) kemiskinan jika segala sesuatunya dijalankan dengan baik.
Mestinya akan timbul pertanyaan seberapa efektif jika dibandingkan dengan program kemiskinan pemerintah? Kita sudah membahas soal ketidakefektifan program pemerintah dan menyinggung beberapa jenis kesalahan yang dilakukan. Terlepas dari soal pemiskinan (biarpun merupakan hal terpenting, sementara diterima dahulu sebagai datum untuk keperluan analisa), apa argumennya jika ziswaf dianggap lebih efektif?
Sebagian isi buku bisa memberikan jawabannya. Dalam pengantar ini, saya akan menyebut ulang sedikit soal kesalahan pemerintah, dan membandingkannya dengan beberapa hal terkait ziswaf.
Pertama, soal kesalahan pendataan bisa dieliminir dalam ziswaf. Alasannya, ziswaf lebih terdesentralisasi dengan basis komunitas. Adapun yang bersifat program (misalnya wakaf) juga sangat spesifik. Soal sentralisasi dalam pengelolaan ziswaf yang masih dikeluhkan adalah agregasi data dan teknik distribusi antar lembaga yang surplus dan kekurangan saja, bukan pada kesulitan mengidentifikasi para penerimanya.
Kedua, soal indikator keberhasilan program kemiskinan pemerintah yang sering tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Selain itu, ada tumpang tindih program, rebutan klaim sasaran, serta klaim keberhasilan. Lokasi dan masyarakat yang sama biasa dinyatakan sebagai hasil dari program yang berbeda, bahkan cenderung dicari yang berpotensi demikian. Kesalahan jenis ini lebih kecil kemungkinan terjadinya pada ziswaf, mengingat kebutuhan untuk indikator keberhasilan yang mengarah kepada soal penganggaran tidak diperlukan. Sebagai contoh, Zakat justeru harus bersifat dinamis dimana kondisi kekiniannya si penerima memang relevan. Wakaf hanya dimungkinkan meningkat jika hasil-hasil nyata (maupun perencanaannya ke depan) memuaskan para waqif (termasuk BAZ/LAZ).
Ketiga, soal kesalahan program Pemerintah yang terkesan sering melihat soal kemiskinan pada faktor internal kaum miskin, dan memiliki bawaan charity. Dampaknya sering berkepanjangan dan kontraproduktif. Misalnya saja soal dana bergulir yang akhirnya macet. Jika ziswaf dikelola dengan benar, maka para penerimanya bisa berdiri tegak (sejajar) dengan para pemberinya, karena memang sudah merupakan hak dan kewajiban (sekalipun sebagian hukum fiqhnya adalah sunnah). Ada kehormatan yang seyogyanya tetap dimiliki si miskin, sehingga ada motivasi untuk suatu saat menjadi pihak pemberi. Selain itu, dasar pemikirannya adalah soal kemiskinan terkait dengan soal kekayaan (meskipun didapat dengan cara halal).
Keempat, berbagai kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan program turut memperparah keadaan. Budaya banyak aparat yang memperlakukan program sebagai “proyek” atau lumbung penghasilan baru, selalu menjadi sasaran kritik masyarakat di mana-mana. Sekalipun isyu pemberantasan KKN terdengar nyaring, peristiwanya tetap berlangsung. Dari yang sangat sederhana berupa pungli atau penentuan yang pilih kasih (kasus raskin, BLT,dll), sampai dengan yang lebih halus. Contoh yang halus adalah jika sebagian penggunaan anggaran sudah sesuai dengan peruntukannya, padahal sebenarnya menyembunyikan inefisiensi. Sebut saja dana sosialisasi program, yang di dalamnya ada soal pencetakkan buku pedoman, pengelolaan situs, pengadaan banyak forum ilmiah atau pertemuan dengan pihak terkait, dan lain sebagainya. Ada yang dengan sinis mengatakan bahwa program kemiskinan lebih menguntungkan bagi pelaksana program daripada penduduk miskin itu sendiri.
Kesalahan jenis ini juga lebih mungkin dihindari setidaknya dikurangi dalam pengelolaan ziswaf. Tambahan sangsi moral, selain sangsi hukum positif, jelas memberi sumbangan positif. Barangkali yang harus dibenahi adalah aspek profesionalisme saja sehingga kesalahan yang “tidak sengaja” pun dicegah, serta pengembangan program (terutama wakaf) yang lebih inovatif dan visioner.
Sekali lagi ditegaskan bahwa selain soal pemiskinan (terkait kebijakan ekonomi), ziswaf menjanjikan potensi yang lebih baik daripada program kemiskinan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Sebagian argumen memang bersifat hipotetis, namun tetap didasari oleh keunggulan konsep dan pelaksanaan pengelolaan ziswaf yang telah ada. Soal jumlah penghimpunan dana yang masih terlihat kecil (ingat soal data agregat di atas) justeru makin menunjukkan efektifitas dan efisiensinya. Jika ada political will dari pemerintah (melalui regulasi), bisa saja ziswaf dikedepankan menjadi program kemiskinan di Indonesia. Asal keburukan birokrasi sebagai bawaannya tidak diikutkan, dan itu dapat dicarikan konsepsinya.