Geliat perekonomian nasional pada tahun 2009 yang memasuki shio kerbau, tampaknya akan berjalan cukup lamban. Paling tidak, sampai akhir triwulan kedua perekonomian masih sulit untuk diharapkan bangkit dari kelesuan sebagai imbas dari resesi global. Upaya-upaya pemerintah untuk mendorong percepatan perputaran roda perekonomian belum mampu memberikan efek yang optimal.
Kondisi tersebut disebabkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah lebih mirip aksi pemadam kebakaran. Artinya, kebijakan yang ditempuh saat ini telah terlambat. Karena seharusnya kebijakan tersebut harus sudah dijalankan paling lambat pada semester pertama 2007 lalu, seperti pernah saya uraikan pada kolom ini sejak bulan Agustus 2007, ketika harga minyak mulai terus meningkat.
Merosotnya daya beli masyarakat pasca kenaikan harga BBM serta akibat dari resesi global menyebabkan tidak maksimalnya efek multiplier dari insentif-insentif ekonomi yang dijalankan pemerintah. Hal ini terbukti dari merosotnya nilai upah riel para pekerja di sektor industri pada triwulan ketiga 2008 lalu, sebagaimana dirilis oleh Badan Pusat Statistik awal bulan ini.
Di sisi lain, menguatnya kurs rupiah selama sepekan terakhir bukanlah murni karena refleksi dari perkembangan positif perekonomian dalam negeri. Menguatnya kurs rupiah tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Pertama, karena kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) sendiri yang memang cenderung terus melemah. Dan kedua, karena menguatnya mata uang yen Jepang terhadap dolar AS. Dengan demikian pergerakan kurs rupiah lebih didominasi oleh imbas pengaruh perekonomian regional, ketimbang pengaruh dari dalam negeri.
Sejauh ini memang belum tampak adanya perkembangan yang cukup menggembirakan pada perekonomian dalam negeri. Sebaliknya, ancaman ledakan PHK masih terus menghantui perkembangan ekonomi nasional hingga akhir triwulan kedua tahun ini. Hal ini tidak lepas dari pengaruh melemahnya kinerja di sektor industri karena menurunnya permintaan, baik permintaan dari luar negeri maupun dalam negeri sebagai efek turunnya daya beli masyarakat.
Pemerintah seharusnya segera menerapkan kebijakan-kebijakan strategis yang bersifat terobosan nyata yang langsung dapat berdampak konkrit pada peningkatan daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Insentif-insentif fiskal maupun non fiskal yang diterapkan pemerintah saat ini lebih terfokus pada upaya mendongkrak nilai dan volume ekspor. Padahal kenyataan menunjukkan saat ini justru permintaan dunia terhadap produk-produk ekspor nasional mengalami penurunan tajam.
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang terfokus pada pasar dalam negeri seharusnya lebih mendapatkan prioritas. Hambatan-hambatan investasi, produksi dan perdagangan di dalam negeri yang selama mendistorsi perekonomian harus segera diberantas tuntas. Momentum resesi ekonomi global seharusnya menjadi alasan utama pemberantasan faktor-faktor penyebab distorsi perekonomian tersebut.
Namun sayang, hingga saat ini distorsi perekonomian justru tetap berlangsung. Berbagai pungli di berbagai sektor perekonomain, ketidakpastian hukum, penyimpangan aturan, dan penyalahgunaan kekuasaan di berbagai tingkatan pemerintahan masih saja terjadi. Selain itu kelangkaan gas di akhir 2008 dan BBM di awal 2009 juga telah mendistorsi perekonomian nasional. Juga kelangkaan pupuk yang menambah berat derita para petani jelas merupakan pukulan telak bagi sektor pertanian dan perkebunan. Padahal bila berbagai penyebab distorsi tersebut dapat diberantas tuntas tentu akan menjadi catatan kemajuan yang sangat berarti bagi perkembangan perekonomian nasional dalam jangka panjang.
Selain itu, upaya-upaya menumbuhkan permintaan dalam negeri harus berawal dari peningkatan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli ini tidak dapat diwujudkan hanya melalui pembagian uang tunai kepada kaum miskin seperti yang pernah dilakukan selama ini. Daya beli masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemberdayaan kaum miskin.
Keberpihakan pemerintah secara langsung dan nyata kepada usaha mikro, kecil dan menengah merupakan langkah nyata yang langsung berdampak pada penguatan daya beli masyarakat secara umum. Penyediaan perlindungan, pembiayaan dan fasilitas secara integral dan komprehensif kepada usaha mikro, kecil dan menengah merupakan langkah mutlak yang harus segera dilakukan untuk meningkatkan daya beli tadi.
Tanpa itu semua, mustahil untuk dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dan dengan sendirinya, upaya mewujudkan perekonomian nasional yang kuat dan mandiri juga akan terus menjadi mimpi-mimpi indah di siang bolong.
Oleh : Kemal Syamsudin, Direktur Eksekutif National Institute (Sumber: www.bisnis.com)