Sunday, November 24, 2024 0:34

DAFTAR INVENTARIS MASALAH ATAS RUU LKM

Posted by on Wednesday, February 16, 2011, 18:07
This item was posted in Berita, Terbaru and has 0 Comments

Disampaikan dalam acara rapat di Kementerian Koperasi tanggal 16 Februari 2011

Latar belakang diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bisa diwakili oleh paragraf penutupnya dari bab Pendahuluan naskah akademik (NA), yang berbunyi: ”Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum. Tetapi pengaturan dari aspek hukumnya belumlah jelas…..” (NA halaman 4)

Sebagaimana umumnya, Naskah Akademik disusun antara lain sebagai dasar pemikiran yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis untuk pembuatan suatu peraturan hukum mengenai lembaga keuangan mikro, serta sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan, khususnya Anggota DPR RI dalam proses pembuatan undang-undang mengenai lembaga keuangan mikro (NA hal 7).

Perhimpunan BMT Indonesia menilai bahwa NA RUU LKM secara filosofis dan yuridis menggugat langsung UUD 1945 khususnya pasal 33, dan UU no 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. PBI menggaris bawahi uraian Kerangka Hukum Koperasi dalam bab III tentang Definisi konsep dan asas yang digunakan dalam penyusunan norma. Antara lain ditulis: “Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik koperasi karena kepentingan masing-masing dari mereka sangat beragam.”

Para penyusun naskah akademik tersebut diduga sangat tidak memahami koperasi, dan tak mengetahui upaya sungguh-sungguh para pegiat koperasi (konvensional maupun syariah) untuk memperbaiki diri secara terus menerus. Bahkan, mereka bisa saja dituding ingin melemahkan gerakan koperasi di Indonesia.

Yang sudah jelas, para penyusun naskah akademik tersebut tidak memiliki data yang akurat mengenai bagaimana LKM beroperasi saat ini. Hal itu diindikasikan oleh uraian Identifikasi Masalah (lihat NA halaman 4-7) yang akan dijawab oleh RUU ini. Akibatnya, terjadi kekeliruan dalam menentukan masalah apa yang harus diatur dan diselesaikan.

Ketidaktahuan dicerminkan pula oleh pengangkatan kasus tahun 2006 terkait BMT di Lampung dan Tegal (NA halaman 30) untuk mendukung kesimpulan operasional LKM yang meresahkan masyarakat. Jika demikian, kita bahkan bisa menggugat perbankan yang kasusnya justeru lebih dramatis. Tentu saja ada penyimpangan atau kasus BMT yang merugikan masyarakat, namun harus dianalisis secara proporsional. Pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat memang dibutuhkan untuk mengeliminasi kejadian serupa.  Lagipula jika penalaran NA itu benar, mengapa BMT selama 5 tahun ini tumbuh melampaui tingkat pertumbuhan perbankan. Bukankah usaha di jasa keuangan terutama sekali bermodalkan kepercayaan masyarakat?

Perhimpunan BMT Indonesia mendukung perlunya aturan main yang lebih jelas dan rinci terkait operasional keuangan mikro. Disadari bahwa kepastian hukum akan menguntungkan semua pihak, terutama rakyat kecil. Naskah akademik cukup tepat mengatakan: “Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain (berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.” (NA halaman 27-28)

Perhimpunan BMT Indonesia berpandangan bahwa RUU LKM seharusnya didasari oleh lima hal utama. Pertama, disusun atas dasar pemahaman yang tepat mengenai bagaimana beroperasinya LKM saat ini. RUU harus menegaskan dan melegitimasi apa-apa yang baik dan bermanfaat buat rakyat banyak dan mengeliminasi hal-hal buruk. Kedua, harus dilandasi oleh UUD 1945 khususnya pasal-pasal tentang perekonomian. Ketiga, benar-benar bertujuan dan bermaterikan perlindungan kepada usaha mikro, bukannya member kesempatan kepada para pemilik modal besar untuk memperkuat dominasinya. Keempat,  memberi perlindungan terhadap masyarakat, yang melakukan transaksi simpanan atau tabungan melalui LKM. Kelima, RUU itu harus visioner, bisa mengantisipasi perkembangan perekonomian di masa mendatang, khususnya yang terkait dengan LKM dan usaha mikro.

Perhimpunan BMT Indonesia berpandangan bahwa RUU LKM seharusnya merupakan RUU KOPERASI SIMPAN PINJAM. Sebagai pokok-pokok materi adalah dua Peraturan Menteri tentang koperasi yang sudah operasional dan merupakan penjabaran lebih rinci dari UU Perkoperasian, khusus yang terkait dengan usaha simpan pinjam. Ada Peraturan Menteri Nomor 14/Per/M.KUKM/VII/2006 tentang Petunjuk Teknis Dana Penjaminan Kredit Dan Pembiayaan Untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Ada pula Peraturan Menteri Nomor 06/Per/M.KUKMI/I/2007 tentang Petunjuk Teknis Program Pembiayaan Produktif Koperasi Dan Usaha Mikro (P3KUM) Pola Syariah. Tentu saja dibutuhkan penyesuaian kaidah formala sebagai UU, ditambah dengan perbaikan atas evaluasi perkembangan mutakhir serta pertimbangan yang visioner tentang perekonomian nasional, khususnya industri keuangan.

Beberapa hal teknis yang dapat dilihat sebagai masalah krusial dalam RUU LKM antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Pasal 4 tentang pendirian, yang menyebutkan harus memenuhi persyaratan: berbadan hukum Indonesia; memiliki modal awal paling sedikit sepuluh juta rupiah; mendapat izin usaha dari bupati/walikota. melainkan sesuai dengan aturan perkoperasian. Dari sudut pandang lain bisa dilihat bahwa aturan memiliki modal awal sepuluh juta rupiah tidak memiliki makna operasional apa pun sehingga tak jelas maksudnya. Sedangkan izin usaha dari bupati/walikota pun tak relevan dengan kondisi di lapangan serta akan tumpang tindih dengan aturan lainnya.
  2. Pasal 5 yang menyatakan bahwa Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud meliputi Koperasi dan Badan Usaha milik Desa/Kelurahan. Ketika masih dalam bentuk draft bahkan meliputi: Perkumpulan, koperasi, perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau badan usaha milik desa. Perhimpunan BMT Indonesia berpandangan hanya koperasi lah yang boleh menjadi LKM. Terkait dengan BUMD jika masih mau diakomodir maka harus ada pasal khusus tentangnya yang membatasi wilayah operasionalnya hanya pada Desa/Kelurahan.
  3. Tentang Permodalan dalam pasal 7, yang mencantumkan juga dapat berasal dari APBN dan APBD (item c dan d) kurang disetujui oleh BMT Center. Sebaiknya jangan bersifat langsung masuk ke dalam permodalan karena soal kemandirian, dan kemungkinan terkaitnya secara langsung dengan konflik politik. Sumber semacam itu lebih efektif untuk mendukung pengembangan SDM, infrastruktur, teknologi dan semacamnya bagi pertumbuhan LKM.
  4. Tentang perizinan pada pasal 9 dan 10 kurang relevan dengan kondisi di lapangan serta akan tumpang tindih dengan aturan lainnya. Semangat untuk mempermudah pendirian justeru bisa menjadi sesuatu yang buruk bagi perlindungan rakyat kecil yang menabung. Kemudahan berlebihan dalam mendirikan akan mengundang berbagai petualang pencari laba, dan cenderung mendorong cepat hidup dan matinya suatu LKM. Dalam jangka menengah dan panjang akan memperburuk kredibilitas LKM.
  5. Perlu adanya batasan pinjaman dan atau pembiayaan dimaksud. Ini dapat memberikan ruang bagi  LKM untuk melayani di luar masyarakat miskin, berpenghasilan rendah dan usaha mikro, seperti usaha kecil, menengah bahkan besar sekalipun.
  6. Berkenaan dengan Penjaminan simpanan dalam pasal 19, perlu lebih rinci lagi, setidaknya dalam penjelasan undang-undang. RUU LKM belum memberikan perlindungan yang jelas, tegas dan konkrit terhadap masyarakat utamanya Sebagiannya bisa mengadopsi yang sudah dilaksanakan dalam perbankan.
  7. Masih terkait Penjaminan simpanan; opsi penjaminan yang dapat dilakukan dengan cara penjaminan sendiri sesama LKM dapat dipertanyakan kekuatannya. Pasal yang menjelaskan bahwa LKM dilarang bertindak sebagai penjamin onfusing dengan pasal boleh melakukan mekanisme penjaminan sendiri sesama LKM (mutual guarantee). Dalam hal ini yang diperlukan hanya ketegasan dan penjelasan lebih rinci/konsisten, termasuk dalam penjelasan UU.
  8. Pasal mengenai penjaminan pinjaman dan pembiayaan yang ada dalam draft telah dihilangkan. Hal ini tetap perlu diatur, dan bisa merupakan pengecualian atas aturan asuransi terkait. LKM tetap membutuhkannya untuk keamanan jangka panjang.
  9. Perlindungan bagi masyarakat dapat direduksi melalui Pasal yang mengatakan bahwa LKM dapat dibubarkan, dimana aturan tanggungjawab (responsibility) dan akuntabilitas (accountability) terhadap masyarakat tampak kurang tegas.
  10. Pasal yang berkenaan dengan pembinaan dan kerjasama, pengawasan, sanksi administrative dan ketentuan pidana belum secara tegas memberi perlindungan terhadap masyarakat, sekaligus cukup mampu dilaksanakan dan dipatuhi oleh LKM.
  11. Oleh karena pada saat bersamaan sedang dibahas pula amandemen Undang-undang tentang Perkoperasian, maka sinkronisasi antara keduanya menjadi sangat penting dan secara teknis lebih mudah dilakukan oleh DPR. Diantaranya yang krusial adalah dalam RUU amandemen Koperasi, bagian mengenai koperasi simpan pinjam mendapat porsi ayat dan pasal yang cukup banyak, dan sebagiannya tak bersesuaian dengan RUU LKM.
  12. Terkait pasal Pengawasan, karena BMT Center secara tegas ingin LKM hanya berbadan usaha koperasi, maka harus ada pasal yang mengamanatkan penguatan hal ini yang dikaitkan dengan birokrasi atas koperasi. Diantaranya koperasi harus diurus lagi di bawah departemen (bukan sekadar kementerian) dan penganggararan yang lebih besar dari APBN.

Selain itu disadari masih ada berbagai masalah yang penting dibicarakan secara lebih mendalam. BMT Center akan terus melakukan kajian dan “mengawal” pembahasan RUU LKM, agar yang diputuskan merupakan yang terbaik bagi bangsa dan rakyat Indonesia.

Jakarta, 16 Februari

PERHIMPUNAN BMT INDONESIA (BMT CENTER)

Awalil Rizky, Ketua II

sumber: Gibran

Comments are closed.