Krisis keuangan Amerika Serikat (AS) yang saat ini terjadi dipicu oleh pemberian program kepemilikan rumah (KPR) kepada orang-orang yang tidak layak mendapatkannya atau yang lebih dikenal dengan sub-prime mortgage, dengan tentu saja membebankan bunga yang sangat tinggi.
Dari program tersebut muncul beberapa produk investasi derivatif lainnya dengan melibatkan bank, perusahaan investasi dan perusahaan asuransi dalam skala global, yang tentu saja juga menjanjikan bunga atau return yang lebih tinggi lagi agar tampil lebih menarik di mata investor. Pada saat program KPR tersebut mengalami gagal bayar maka terjadilah krisis berdimensi luas dan mengglobal.
Di Indonesia dampak krisis ini mengundang banyak reaksi. Pemerintah sendiri “dipaksa” membuat beberapa paket kebijakan atau regulasi guna meminimalisir dampak buruk pada ketahanan perekonomian Indonesia. Kebijakan yang telah dikeluarkan antara lain adalah menutup sementara atau men-suspend Bursa Efek Indonesa (BEI), menaikan suku bunga acuan atau BI-rate hingga 9,5 persen, buyback saham-saham BUMN dan yang terakhir meningkatkan penjaminan simpanan hingga dua miliyar rupiah. Namun tidak cukup dengan itu, pemerintah diharapkan mampu membuat regulasi yang dapat menyelamatkan, atau minimal tidak mempersulit keadaan sektor riil terutama pada skala usaha mikro dan kecil (UMK).
Krisis ini tentu saja tidak luput dari perhatian para pelaku usaha, serta stakeholder lembaga keuangan mikro (LKM) di Indonesia. Sebagai sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap kondisi ekonomi bangsa terutama yang berkaitan dengan keberadaan UMK. Pemantauan perkembangan situasi keuangan dan perekonomian global, serta langkah-langkah kebijakan pemerintah juga dilakukan sebagai upaya antisipatif dari kemungkinan dampak buruk yang akan mempengaruhi eksistensi dan keberlangsungan lembaga ini.
Posisi LKM di Tengah Krisis :
Dalam situasi krisis ekonomi seperti yang terjadi pada 1997/1998 di mana banyak sektor korporasi bergelimpangan, justru sektor UMK tumbuh dan tampil menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi, sekaligus berperan sebagai jangkar pengaman kemiskinan dan kerawanan sosial. Kondisi semacam itu tidak dapat dilepaskan dari LKM-LKM yang ada.
Meski acap kali dianggap pinggiran ketimbang sektor perbankan, namun tetap saja sulit memungkiri kontribusi nyata LKM kepada masyarakat. Pada krisis kali ini pun, keberadaan LKM sulit dinafikan. Kinerja keuangannya pun dinilai pada posisi positif. Terbuka peluang yang lebar baginya untuk semakin tumbuh dan berkembang.
Krisis yang telah menjadi momok bagi pelaku pasar modal dan telah memakan korban perusahaan-perusahaan keuangan multinasional justru menjadi berkah tersendiri bagi LKM. Pada saat perbankan nasional mengalami kesulitan likuiditas, sampai-sampai BI perlu menaikan BI-rate-nya untuk memperkuat likuiditas bank-bank dan melancarkan penyaluran kreditnya (pembiayaan) di sektor riil, posisi LKM justru stabil dan semakin mantap. Dalam hal menghimpun dana atau funding, dari masyarakat atau dari anggota, LKM belum mengalami kesulitan berarti. Karena LKM tumbuh dalam nuansa kekeluargaan atau yang diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok komunitas sehingga memudahkan tumbuhnya kepercayaan. Begitu pula untuk urusan pembiayaan atau financing. Kondisi yang demikian itu hampir merata di setiap LKM. Seperti yang dapat dilihat juga pada LKM berbasis syariah, atau Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Tidak terintegrasinya LKM dengan sistem keuangan global, serta aktivitasnya yang lebih berorientasi pada pembiayaan di sektor riil/ UMK yang memiliki local content tinggi, dan daya tahan yang kuat menghadapi krisis, merupakan faktor-faktor mendasar yang menyebabkan keberadaan LKM tidak terlalu terpengaruh dampak buruk krisis keuangan kali ini.
Tantangan :
Telah terbukti keberadaan LKM turut mendorong tumbuh kembang sektor UMK dan menjadi instrumen penting penopang permodalan sektor itu, baik di masa normal maupun abnormal (krisis). Bahkan telah teruji dalam menghadapi faktor eksternalitas yang cenderung tidak memihak keberadaannya. Meskipun demikian, apabila tidak diwaspadai dampak buruk krisis keuangan global malah bisa dengan mudah mengancam kelangsungan hidupnya.
Tantangan utama yang siap menghadang eksistensi LKM hadir justru dari faktor internal lembaga itu sendiri. Saat perbankan tengah mengalami kesulitan likuiditas maka sektor riil kesulitan memperoleh pembiayaan. Mereka dengan sadar akan mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif lainnya. Sangat terbuka kemungkinan mereka akan memilih LKM sebagai alternatif. Padahal sektor riil yang dibiayai dan diprioritaskan oleh perbankan adalah mereka sektor usaha dalam skala menengah dan besar. Kecenderungan mereka akan meminta plafon pembiayaan yang besar untuk ukuran LKM dan untuk jangka waktu yang panjang. Godaan membiayai mereka akan sangat membahayakan keberadaan LKM.
Jika LKM berpretensi membiayainya maka bersiaplah lembaga ini menghadapi permasalahan yang sama dengan yang dihadapi perbankan. Masuk dalam kesulitan likuiditas yang sama atau bahkan jauh lebih besar. Mengingat daya dukung permodalan LKM yang relatif lebih rendah. Akhirnya, kemungkinan untuk kolaps dapat dengan mudah terjadi.
Untuk mencegah hal itu terjadi, perlu diingatkan kembali pada khittah LKM itu sendiri. Tetaplah LKM merupakan lembaga penyedia jasa keuangan bagi sektor UMK, dan jangan sekali-kali dikarenakan proyeksi keuntungan usaha yang lebih besar menggeser fokus pembiayaan. Dalam menjaga likuiditasnya, LKM dapat memprioritaskan pembiayaan untuk jangka waktu pendek dan menghindari pembiayaan di bidang usaha yang memiliki ketergantungan sangat besar pada bahan baku impor. Untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan lebih buruk, LKM perlu meningkatkan efisiensi usahanya. Intensitas komunikasi dengan asosiasi-asosiasi atau institusi sejenis perlu lebih ditingkatkan lagi guna merumuskan solusi bersama atas permasalahan yang dihadapi, dan yang kemungkinan akan dihadapi sebagai akibat dari krisis keuangan global ini.
Ditulis oleh Saat Suharto Penulis adalah CEO PT Permodalan BMT Ventura (Tulisan ini pernah dimuat di GAGASAN Koran Jakarta, 1 November 2008)