Oleh : Awalil Rizky, Ketua II BMT Center Jakarta
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) selama sepuluh tahun ini tercatat paling menonjol dalam dinamika keuangan syariah di Indonesia. Berbagai LKMS tersebut lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Masing-masing BMT biasa memiliki nama, yang diperlihatkan pada papan nama dan identitas lainnya. Ada LKMS yang menyebut diri sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), dan yang secara lengkap menyatakan diri sebagai KJKS BMT dengan nama tertentu.
BMT pada umumnya memiliki dua latar belakang pendirian dan kegiatan yang hampir sama kuatnya, yakni sebagai lembaga keuangan mikro dan sebagai lembaga keuangan syariah. Identifikasi yang demikian sudah tampak pada beberapa BMT perintis, yang beroperasi pada akhir tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an. Mereka memang belum diketahui secara luas oleh masyarakat, serta masih melayani kelompok masyarakat yang relatif homogen dengan cakupan geografis yang amat terbatas. Perkembangan pesat dimulai sejak tahun 1995, dan beroleh “momentum” tambahan akibat krisis ekonomi 1997/1998.
Pada tahun 2010, telah ada sekitar 4.000 BMT yang beroperasi di Indonesia. Beberapa diantaranya memiliki kantor pelayanan lebih dari satu. Jika ditambah dengan perhitungan faktor mobilitas yang tinggi dari para pengelola BMT untuk “jemput bola”, memberikan layanan di luar kantor, maka sosialisasi keberadaan BMT telah bersifat masif. Wilayah operasionalnya pun sudah mencakup daerah perdesaan dan daerah perkotaan, di pulau Jawa dan luar Jawa.
BMT-BMT tersebut diperkirakan melayani sekitar 3 juta orang nasabah, yang sebagian besar bergerak di bidang usaha mikro dan usaha kecil. Cakupan bidang usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas. Mulai dari pedagang sayur, penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan, penjahit rumahan, pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak, sampai dengan kontraktor dan usaha jasa yang relatif moderen.
Pertumbuhan kelembagaan dan jumlah nasabah membawa perkembangan yang pesat pula dalam kinerja keuangannya. Dana yang bisa dihimpun bertambah banyak, pembiayaan yang bisa dilakukan naik drastis, dan pada akhirnya aset tumbuh berlipat hanya dalam beberapa tahun. Mereka pun dipercaya oleh masyarakat yang kebanyakan berpenghasilan rendah dan menengah bawah untuk menyimpan dananya. Pada saat bersamaan, BMT telah memberikan pembiayaan melebihi dana yang berhasil dihimpun, yang dimungkinkan oleh semakin membaiknya modal sendiri maupun mulai ada kepercayaan dari bank syariah untuk bekerjasama.
Potensi untuk berkembang lebih pesat di masa mendatang masih sangat besar. Namun masih ada banyak kendala dan tantangan dalam operasional BMT-BMT. Dukungan berbagai pihak pun belum sepenuhnya kuat. Keberadaannya pada “dua kaki”, sebagai lembaga keuangan mikro yang terkait erat dengan UMKM dan sebagai lembaga yang bersifat syariah, belum berhasil diramu menjadi keunggulan yang berkesinambungan. Pihak otoritas ekonomi dan Pemerintah Daerah masih terkesan lambat memberi dukungan, bahkan kadang menghambat dengan regulasi atau birokrasi yang tidak dilandasi pemahaman permasalahannya. Dari sisi internal BMT sendiri masih ada banyak kendala terkait permodalan, sistem operasional dan ketersediaan sumber daya insani yang memadai.
Para pegiat pun sadar akan belum optimalnya perkembangan BMT. Berbagai forum dan kerjasama antar mereka telah dilakukan, termasuk mendirikan asosiasi dan perhimpunan. Ada upaya penyamaan beberapa hal yang memang perlu distandarisasi demi kemajuan bersama. Salah satu yang mendasar adalah menyepakati dan mengembangkan beberapa karakteristik dasar yang serupa, yang mencerminkan jati diri sebagai gerakan BMT. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran akan adanya tantangan masa depan terkait perkembangan kondisi eksternal yang sebagiannya musti dihadapi secara bersama. Tantangan tersebut meliputi antara lain: dinamika perekonomian nasional bahkan global, kemajuan teknologi dan komunikasi, kondisi sosial politik dan budaya, kesadaran praktik syariah dan lain sebagainya.
Perhimpunan BMT Indonesia yang disebut juga sebagai BMT Center merupakan asosiasi yang paling serius mengembangkan diri sejak didirikan padatanggal 14 Juni 2005.Ada 142 BMT yang menjadi anggotanya sampai dengan pertengahan 2010, Mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain: Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Sumatera dan Aceh. Bisa dikatakan, hampir semua yang termasuk besar menurut ukuran BMT bergabung dalam BMT Center. Namun, syarat dan kriteria yang utama dalam penerimaan keanggotaan BMT center adalah kesehatan operasional dan kelembagaannya, serta komitmen untuk mengembangkan gerakan BMT secara nasional.
Sampai dengan Desember 2005, ketika BMT center masih beranggotakan 96 BMT, total asset para anggota adalah sekitar Rp 364 milyar. Dengan adanya pertumbuhan selama tahun berjalan dan penambahan beberapa anggota baru, maka sampai dengan akhir tahun 2006, aset total adalah sekitar Rp 458 miliar. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 695 miliar pada akhir tahun 2007, hampir mencapai Rp 1 trilyun pada akhir tahun 2008, dan sekitar Rp 1,6 trilyun pada akhir 2009. Nilai tersebut diperkirakan sekitar 50 persen dari total BMT yang mencapai lebih dari Rp 3 trilyun.
BMT secara umum telah terbukti berhasil menjadi lembaga keuangan mikro yang andal. Kemampuannya untuk menghimpun dana masyarakat terbilang luar biasa, mengingat mayoritas anggota dan nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro, yang selama ini tidak diperhitungkan oleh perbankan sebagai sumber dana. Dengan mengembangkan kemampuan menabung mereka, ketahanan masyarakat dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendesak seperti sakit, musibah maupun kebutuhan mendesak lainnya menjadi semakin kuat. Mereka pun mulai belajar mengakumulasikan modal bagi peningkatan kapasitas bisnis, atau pembuatan bisnis baru. Sementara itu, perkembangan pembiayaan yang diberikan pun terbilang spektakuler. Rasio financing to deposit ratio (FDR), yang umumnya mendekati atau lebih dari 100%, menunjukkan bahwa dana yang dihimpun dari anggota dan nasabah dapat disalurkan sepenuhnya. Tak jarang, BMT memerlukan tambahan dana dari sumber lain, seperti perbankan syariah.
Jati diri BMT yang paling pokok adalah identitas dan ciri keislamannya. Secara historis, pendirian dan perkembangan gerakan BMT selalu berkaitan dengan nilai-nilai Islam dan respon atas kondisi umat Islam. Para pegiat pun berupaya mengedepankan berbagai identitas keislaman dalam operasionalisasi BMT, termasuk dalam proses dan kinerja sebagai badan usaha yang melaksanakan prinsip-prinsip syariah. Secara penamaan, lembaga beserta produk-produknya, mengesankan citra Islami. Konsekwensi logis dari semua itu, BMT harus bertanggungjawab untuk istiqamah terhadap citra diri yang demikian. Tidak saja kepada stakeholder yang bersifat sosiologis, melainkan juga bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Aspek jati diri lainnya adalah sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menjadi motor penggerak sektor usaha mikro dan usaha kecil (UMK). Dengan fokus penyaluran kepada sektor UMK yang merupakan tumpuan hidup dari mayoritas rakyat Indonesia, maka diharapkan produktifitas masyarakat secara keseluruhan menjadi meningkat. Pada giliran berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas karena ditopang oleh sektor riil akan terjadi secara memadai dan berkesinambungan, sehingga menguatkan fundamental ekonomi Indonesia. Keuangan mikro (microfinance) pada saat ini dipercaya menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk mengatasi kemiskinan, sekaligus menciptakan masyarakat yang memiliki tanggung jawab, mandiri dan bermartabat. Pandangan demikian tak hanya bersifat nasional, namun telah berlaku umum di dunia internasional.
Perkembangan BMT yang pesat diiringi pula oleh semakin besarnya tantangan yang dihadapi. Tantangan internal terpenting diantaranya adalah: soal kepatuhan syariah (syariah compliance), soal mempertahankan idealisme gerakan, soal profesionalisme pengelolaan, soal pengembangan sumber daya insani, dan soal kerjasama antar BMT. Sementara itu, tantangan eksternal yang utama adalah: dinamika makroekonomi, masalah kemiskinan yang masih menghantui perekonomian Indonesia, dinamika sektor keuangan yang belum menempatkan keuangan mikro sebagai pilar utama, serta masalah legalitas dan regulasi untuk BMT.
Musyawarah nasional BMT Center April 2010 menetapkan suatu cetak biru yang dinamakan “Haluan BMT 2020” dengan tujuan mengidentifikasi tantangan utama yang akan dihadapi oleh gerakan BMT pada sepuluh tahun mendatang. Haluan memuat penjelasan tentang jati diri BMT, semacam identitas dan citra diri yang melandasi operasi BMT serta menginspirasi para pegiatnya. Haluan juga mengetengahkan sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas, sehingga para stakeholder dalam kegiatan pengembangan usaha BMT dapat memiliki pedoman untuk menyelaraskan aktivitasnya.
BMT Center menyelenggarakan pula beberapa kegiatan penting untuk mulai merealisasikan Haluan itu, salah satu diantaranya adalah “BMT SUMMIT dan TOP MANAGEMENT BMT WORKSHOP” pada tanggal 22-24 Oktober 2010. Acara tersebut antara lain diharapkan: memperkuat konsolidasi antar BMT, mempertegas jati diri, memperkaya wawasan para top manajer, serta memperluas komunikasi kepada pihak lain.
Acara yang akan diikuti oleh sekitar 150 manajer puncak BMT dari berbagai wilayah di Indonesia itu terdiri dari dua bagian. Pertama, berupa forum musyawarah (summit) yang melanjutkan pembahasan beberapa tema utama yang telah diputuskan di Munas serta evaluasi perkembangan mutakhir dari gerakan BMT. Kedua, berupa pelatihan (workshop) untuk para manajer puncak BMT. Diharapkan pula terjadi komunikasi yang optimal dengan para narasumber secara timbal balik sehingga berfungsi pula sebagai media publikasi gerakan BMTke pihak lain.