Sunday, April 28, 2024 5:40

Ekonomi Rakyat di Masa Krisis

Posted by on Sunday, April 12, 2009, 18:50
This item was posted in Artikel and has 0 Comments

Dunia keuangan global kembali terguncang menyusul pailitnya salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika, Lehman Brothers disusul dengan gonjang-ganjing lembaga serupa seperti Meryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rocks, UBS dan Mitsibishi UFJ. Guncangan ini akan menjadi batu ujian pada kekuatan perekonomian nasional ke depan.

Akankah perekonomian Indonesia–sistem keuangan dan sector riil, terkena dampak krisis yang diperkirakan lebih parah daripada krisis moneter Asia sepuluh tahun yang lalu? Analisis beberapa ahli mengatakan bahwa ketahanan perekonomian nasional akan sangat tergantung pada kekuatan sistem keuangan domestik. Bila sistem keuangan nasional bisa bertahan, sangat mungkin krisis keuangan gobal kali ini tidak akan berdampak terlalu serius.

Sektor Keuangan :

Ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan guncangan awal tersebut menimbulkan rentetan akibat lanjutan bagi perekonomian Indonesia.

Pertama, ada atau tidak adanya keterkaitan langsung yang erat antara lembaga keuangan internasional yang tengah kesulitan dan lembaga-lembaga domestik. Keterkaitan ini berupa placement atau loan yang diberikan secara signifikan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia pada berbagai investment bank global.

Kedua, kondisi likuiditas bank-bank dan lembaga keuangan domestik. Kondisi bank dan lembaga keuangan domestik masih mengalami banjir likuiditas. Ini terindikasi dari rendahnya rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR/ loan to deposit ratio) yang berkisar di bawah 50 persen saat itu. Ketiga, geliat investasi pada sektor riil yang disebabkan oleh peningkatan kapasitas produksi industri nasional, setelah sebelumnya tertekan karena belum pulihnya permintaan.

Akibat berbagai alasan itu, dampak yang dirasakan terisolasi pada second-round effect berupa pelemahan ekspor dan capital-outflow terbatas, yang kurang berakibat serius pada tingkat pertumbuhan secara umum. Hal tersebut terbukti dengan tumbuhnya perekonomian secara mengesankan pada 2007 sebesar 6,33 persen. Sampai kuartal III 2008, angka pertumbuhan ini masih sekitar enam persen dan baru menurun pada kuartal IV 2008. Pertumbuhan ekonomi ini merupakan angka pencapaian tertinggi setelah krisis 1998.

Namun, krisis global lanjutan kali ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari pengambil kebijakan. Beberapa indikator domestik menunjukkan bahwa akan terdapat dampak lebih parah pada perekonomian nasional. Yang terlihat dari tekanan luar biasa kini tengah terjadi di pasar uang domestik, baik saham maupun obligasi.

Sampai dengan akhir Oktober lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG) terus terpuruk, adapun nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar terus tertekan selama dua bulan terakhir. Demikian pula tekanan hebat terus terjadi pada pasar SUN, yang terlihat dari kenaikan yield yang mencapai di atas 50 basis poin untuk semua jenis obligasi. Pada saat yang sama, yield curve terus bergerak naik, yang menandakan adanya ekspektasi pengetatan moneter dalam jangka pendek sampai menengah.

Faktor pergerakan asing menjadi faktor dominan yang menyebabkan keterpurukan pasar uang dan obligasi domestik. Para investor global mencari aman dengan melakukan capital flight menuju aset-aset berisiko rendah dan berkualitas dan meninggalkan aset di emerging market, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, terdapat aliran likuiditas keluar yang menyulitkan ekonomi nasional akibat kebijakan uang ketat.

Situasi ini mendorong kenaikan suku bunga kredit yang merupakan kunci keterkaitan antara pasar uang dan sektor riil. Peningkatan suku bunga sangat tinggi akan berakibat dialihkannya dana pada simpanan. Pada gilirannya, akan menekan investasi dan mencekik dunia usaha. Suku bunga yang tinggi juga akan memperparah kredit bermasalah (non-performing loan /NPL) dan menyulitkan rumah tangga karena meningkatnya jumlah cicilan, baik itu perumahan atau kredit lainnya.

Belum ada laporan resmi terkini yang menyebutkan bahwa pasar kredit dari lembaga keuangan–bank maupun non bank, yang menyebutkan peningkatan significan atas kualitas kreditnya. Gejala awal yang sudah mulai dirasakan oleh lembaga keuangan non bank adalah menurunnya pertumbuhan kredit konsumsi, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa penyedia jasa kartu kredit. Ini tentu merupakan akibat langsung dari kenaikan bunga dan meningkatnya harga. Perkembangan positif atau negative dari kuantitas dan kalitas kredit baru akan terlihat pada pertengahan 2009.

Sektor Riil : Ekonomi Rakyat

Akan seberapa seriuskah dampak krisis keuangan global pada ekonomi rakyat?

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan Eropa, akan secara langsung menurunkan tingkat konsumsi di Negara-negara tersebut.

Secara nasonal, net export Indonesia adalah sebesar 10 persen dari total GDP, eksport tersebut terdiri dari 20 persen produk migas dan 80 persen non migas. Tujuan produk ekspor non migas tersebut adalah 12% ke US dan negara-negara Eropa, sisanya ke negara-negara seperti Jepang, Singapura dan Timur Tengah. Industri seperti tekstil, otomotif dan lainnya yang berbasis ekspor ke negara-negara tersebut akan secara langsung terkena dampaknya.

Ekspor non migas ke AS ini bernilai satu miliar dolar AS dan Eropa 990 Juta dolar AS pada tahun 2007. Angka-angka ekspor ke Amerika dan Eropa ini lah yang saat ini kolaps. Ekspor utama ke negara-negara tersebut adalah dari industri tekstil, yang pada tahun 2008 ini permintaannya tinggal sekitar 30 persen. Ribuan pekerja industri tekstil dan industri pendukungnya telah terkena PHK di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sampai akhir tahun ini dan awal tahun depan diperkirakan akan ada PHK baik sektor formal maupun informal sebanyak 350.000 pekerja menengah/trampil (skilled labor) dan lebih dari 3,5 juta pekerja kelas bawah (unskilled labor). Laporan dari Dinas UMKM Sumut juga menyebutkan adanya penurunan permintaan dalam negeri atas industri keramik dan kerajinan. Industri keramik ini diserap pasar dalam negeri terutama NAD dan Sumut, sementara industri ukiran di Samosir dan sepatu, dompet dari kulit untuk tujuan ekspor. Angka penurunan permintaan ini hampir sama dengan penurunan ekspor nasional, yaitu mendekati angka 30% saja dari tahun 2007. Hal ini tentu sangat mempengaruhi perekonomian rakyat.

Sementara itu ekspor dari sektor perkebunan belum ada tanda-tanda penurunan untuk produk-produk seperti teh dan kopi. Ekspor kopi nasional yang sebagian dihasilkan dari perkebunan rakyat, justru dilaporkan meningkat dan melebihi dari target. Tahun lalu (2007) ekspor kopi Indonesia mencapai 300.000 MT dan tahun 2008 diperkirakan  akan mencapai 325.000 MT atau ada kenaikan sekitar 8%. Hal ini disebabkan karena masih tetap stabilnya pasar Eropa dalam hal ini Jerman yang merupakan konsumen terbesar, juga ada kenaikan permintaan import dari negara yang mengalami kelebihan devisa akibat kenaikan harga minyak dunia seperti Rusia. Komoditas teh ada kecenderungan penurunan produksi, pada tahun 2007 produksi nasional mencapai 149.000 ton tahun ini diperkirakan produksi hanya mencapai 145.000 ton. Angka ekspor teh juga menurun sejak 2006 yang mencapai 95.000 ton, di tahun 2007 menjadi 83.000 ton dan di tahun 2008 diperkirakan 95.000 ton. Hal ini disebabkan karena penurunan kualitas akibat kemunduran budidaya.

Produk pertanian dan pangan yang berasal atau berbahan baku import sudah pasti akan terpengaruh. Tahu tempe, yang berbahan baku kedelai import, di negara asalnya bersaing untuk kebutuhan lain seperti pakan ternak dan bioenergi. Kelangkaan barang ini sudah barang tentu akan meningkatkan harga. Sementara itu, produksi beras nasional dari perkiran target 2008 sebesar tiga juta ton telah dipenuhi sebesar 2,85 juta ton. Produk pertanian beras yang merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia, untuk tahun ini diperkirakan mampu dipenuhi dari dalam negeri sehingga keran import yang menguras devisa dapat dihindari.

Pada sektor wisata, kunjungan turis manca negara sampai akhir tahun 2008 belum diindikasikan adanya penurunan kunjungan. Mungkin hal ini terkait dengan budaya berlibur dan berpergian yang tidak dengan mudah bisa dibatalkan atau sudah melalui perencanan tahunan. Kunjungan wisata, kemungkinan akan terpengaruh pada tahun 2009, apabila krisis berlanjut.

Momentum yang harus dijaga oleh pemerintah adalah meningkatkan produksi untuk  konsumsi dalam negri yang masih merupakan pasar yang besar bagi pertumbuhan ekonomi karena faktor jumlah penduduk Indonesia yang besar.  Di dalam hal ini jangan sampai hasil industri kita justru tidak laku di pasar dalam negeri karena kalah bersaing dengan barang-barang murah dari China atau Vietnam yang masuk ke Indonesia secara illegal melalui pelabuhan-pelabuhan tidak resmi. Instansi pemerintah seperti Departemen Pedagangan dan Departemen Keuangan atau Bea Cukai perlu mencermati juga lonjakan import 10-15 persen untuk BBM, elektronik, pelumas dan besi baja dari China.

Di masa krisis ini di samping kebijakan di bidang moneter dan perdagangan yang perlu merespon dengan tepat, masyarakat Indonesia juga harus bisa memanfaatkan momentum untuk memaksimalkan produksi yang berbasis pada bahan baku dalam negeri, mencintai dan bangga dengan produk nasionalnya.

Ditulis oleh : Y. Arihadi, penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Nasional FORMASI Indonesia periode 2007-2009.Saat ini juga aktif sebagai Ketua Umum LKM Bina Arta. Sumber: www.formasi-indonesia.or.id.

 

Comments are closed.