Arti Krisis Finansial Global Bagi Indonesia; Saatnya Menggerakkan Sektor RiilNegara kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20) menyatakan, Sabtu (11/10), pihaknya bertekad akan menggunakan segala cara yang ada untuk mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. G-20 yang meliputiraksasa yang baru tumbuh seperti Brazil, Rusia, China dan India dan negara industri maju G-7, menggelar pertemuan khusus mengenai krisis finansial atas seruan Brazil dan Menkeu AS, Henry Paulson. G-20 yang dibentuk pada 1999 dan anggotanya juga termasuk Indonesia dan Turki, menguasai 85 persen perekonomian dunia.
Krisis ini dimulai dengan kredit macet atau ketidakmampuan membayar kredit di sektor perumahan rakyat atau subprime mortage di Amerika. Hal ini memicu penurunan tingkat kepercayaan di pasar finansial, yang mengakibatkan jatuhnya nilai saham dan surat – surat berharga lainnya.
Sebenarnya, adanya krisis finansial global ini disebabkan oleh watak spekulatif globalisasi finansial. Proses akumulasi modal telah bergeser dari sifatnya yang produktif kepada perjudian spekulatif, yang oleh Susan Strange disebut sebagai Casino Capitalism. Dahulu, transaksi yang menggunakan valuta asing selalu berkaitan erat dengan sektor ekonomi riil (perdagangan dan investasi jangka panjang). Namun saat ini, kondisinya bergeser, dimana transaksi tersebut lebih banyak terdiri dari aliran modal jangka pendek yang mengarah pada spekulasi.
Kondisi di atas disebabkan oleh investasi di sektor riil yang tidak lagi dipandang menguntungkan, atau dengan bahasa yang lebih halus, sektor riil menawarkan keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor finansial. Kondisi ini memicu para pemilik modal melakukan investasi dalam bentuk saham, bonds, dan surat berharga lainnya. Di sisi lainnya, sektor riil terabaikan.
Di Indonesia pun terjadi demikian. Sejak beberapa tahun, yang tumbuh hanya sektor jasa (non-traded), bukan sektor riil. Sementara itu, tiap peluncuran ORI dan surat utang negara ritel peminatnya sangat luar biasa. Ini menunjukkan betapa macetnya sektor dunia usaha kita sehingga menanamkan uang masih lebih menguntungkan daripada membuka usaha.
Yang kemudian menjadi keprihatinan kita adalah, sistem semacam ini terus “dipupuk” oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan didukung oleh pemerintah. Peningkatan kinerja makro ekonomi Indonesia selama empat tahun pemerintahan SBY seperti pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran dan cadangan devisa, lebih banyak ditopang oleh peningkatan ekspor yang dipicu oleh kenaikan hargakomoditas di pasar dunia dan peningkatan aliran masuk modal spekulatif (hot money).
Kondisi di atas telah mendorong kenaikan harga saham yang sangat tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sektor properti komersial. IHSG di BEI telah meningkat dramatis dimana pada tahun 2007 mencapai 52%. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga komoditas internasional (25%-30% nilai bursa) yang mendorong peningkatan keuntungan pada emiten perkebunan dan pertambangan. Dan yang disayangkan adalah investor mengabaikan kondisi fundamental dari emiten – emiten yang ada di BEI. (lihat ECONIT Economic Outlook 2008).Yang terjadi di tahun 2007 sampai 2008 adalah terbentuknya balon finansial yang terus menggelembung seperti di pasar modal. Aliran modal spekulatif tersebut telah menggelembungkan nilai aset finansial dan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun,ketika terjadi arus balik seperti pada bulan Oktober 2008 ini, nilai aset finansial dan nilai tukar rupiah terperosok cukup signifikan.
Arti Krisis bagi Indonesia :
Satu bulan yang lalu pemerintah, dengan berbagai alasan, masih memberikan berbagai keterangan bahwa krisis tidak akan berdampak besar. Namun, kita lihat kenyataannya tidaklah demikian. Pada saat ini sektor riil macet. Ada 3.000 karyawan yang bekerja di pertekstilan di rumahkan , dan menurunnya daya beli masyarakat. Yang terbaru adalah peraturan bersama Menteri perindustrian, Perdagangan, Dalam negeri, serta Menakertrans untuk menetapkan upah minimum kepada pegawai dengan memperhatikan kemampuan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika upah pekerja minimum, maka daya beli pekerja akan turun, yang secara langsung akan membuat sektor riil kehilangan pasar.
Menurut saya, arti krisis finansial global bagi indonesia adalah saatnya menggerakkan ekonomi riil. Ada beberapa langkah alternatif yang bisa dilakukan, yaitu; Pertama, membantu pengembangan UKM dengan kebijakan kemudahan pemberian kredit, membantu pengembangan produk, dan pemasaran. Selama ini pemerintah hanya membantu UKM seperti mempermudah pemberian kredit, tetapi mengabaikan peningkatan daya saing produk dan pemasaran.
Sebagai contoh batik buatan Cina, biaya produksinya 60% lebih murah dari batik produksi dalam negeri. Dengan dukungan teknologi desain, batik imitasi ini hasilnya akan lebih bagus. Konsumen tentu akan memilih barang yang murah dan bagus. Kalau pemerintah tidak segera membantu pengusaha batik, maka yang akan terjadi adalah gulung tikarnya para pengusaha batik Indonesia. Kebijakan pemerintah pun dalam hal ini tidak hanya sekedar menghimbau, tetapi memberikan bantuan secara langsung kepada pengusaha berupa kebijakan yang mendukung pengembangan UKM. Selain itu, para pengusaha juga didorong untuk secara aktif meningkatkan kualitas produknya. Pemerintah seharusnya memberikan informasi dan pelatihan mengenai pasar dalam dan luar negeri. Harapannya adalah pengusaha menyadari adanya kompetisi global.
Kedua, memupuk pasar dalam negeri dan menggunakan produk dalam negeri. Salah satu himbauan SBY dalam menghadapi krisis finansial adalah himbauan untuk menggunakan produk dalam negeri. Namun, himbauan ini kontradiktif dengan berbagai kebijakan pemerintah dalam meliberalisasi berbagai produk. Hasilnya adalahmembanjirnya produk luar negeri di pasar kita.
Dengan perlambatan ekonomi dunia, ekspor produk China yang tadinya ke AS dan Eropa tentu akan dialihkan untuk membanjiri negara – negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan kebijakan tarif antara 0-5%, maka produk – produk China tersebut akan dengan mudah membanjiri pasar Indonesia dan menekan produk dalam negeri. Hal ini tentu akan kontradiktif dengan himbauan presiden dalam menghadapi krisis, yaitu menggunakan produk dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih jelas dan terarah untuk benar – benar berpihak pada industri dalam negeri.
Bagaimana mungkin kita akan menggunakan produk dalam negeri ketika produk – produk dari luar negara kita membanjiri pasar. Bukan hanya di pasar modern, tetapi juga pasar tradisional. Akhirnya, konsumen (masyarakat) memilih produk yang dianggapnya murah dan berkualitas. Sebagai contoh adalah kasus membanjirnya jeruk Cina di pasar – pasar modern dan tradisional. Secara tidak langsung, kondisi tersebut membuat produk lokal tersingkir.
Langkah yang diambil pemerintah pun bukan seharusnya anti liberalisasi. Tetapi, liberalisasi di Indonesia seharusnya dilakukan bertahap, bukan “selesai dalam satu malam”. Analisa kebijakan ekonomi menganjurkan suatu urut-urutan liberalisasi atas pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekonomi politik menyatakan bahwa urut-urutan itu mensyaratkan pula suatu political conditioning agar liberalisasi itu mungkin dilakukan (feasible). Jadi, desirability dan feasibility harus bergandengan tangan. Hanya dengan modal ini liberalisasi bisa dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Ketiga, mendorong peran serta pemerintah daerah dalam optimalisasi potensi lokal. Potensi lokal tersebut bisa berupa sektor pariwisata, pertanian, atau yang lainnya. Semakin pemerintah daerah bisa mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi daerah tersebut, maka akan semakin mampu menggerakkan perekonomian lokal.
Ditulis oleh : Ahmad Sumiyanto, Ketua Perhimpunan BMT Indonesia