Sistem ekonomi syariah diyakini memiliki resistensi tinggi terhadap krisis finansial global yang masih berkecamuk karena memiliki jaminan aset (underlying) jelas dalam setiap transaksinya
“Sistem ekonomi syariah bisa jadi trigger penangkal krisis dibandingkan sistem konvensional yang banyak memiliki unsur derivatif,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Ch. Fajrijah dalam sambutan tertulis seminar tentang ekonomi syariah yang digelar Bisnis bersama Sekolah Tinggi Agama Islam Modern Sahid di Jakarta, kemarin.
Dia mencontohkan saat krisis likuiditas melanda bank konvensional, bank syariah tetap bertahan dan justru mengalami pertumbuhan sekitar 36%, karena penyaluran pembiayaan berlandaskan kegiatan ekonomi.
Dalam 2 tahun terakhir perbankan syariah nasional tumbuh 36%-37%, sementara industri perbankan syariah global tumbuh 27%. Namun, dari sisi aset bank syariah nasional kalah jauh dibandingkan dengan global.
Aset perbankan nasional saat ini sekitar Rp52 triliun, sedangkan bank syariah internasional US$643 miliar. Tahun ini bank syariah nasional diproyeksikan tumbuh 75% menjadi sekitar Rp70 triliun-Rp75 triliun, sedangkan bank syariah global diperkirakan jadi US$1 triliun.
Namun, Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Ramzi A. Zuhdi menegaskan dengan pangsa yang baru 2% dibandingkan dengan bank konvensional, pengaruh perbankan syariah masih sangat kecil untuk menjadi alternatif solusi di tengah krisis.
“Untuk menangkal krisis dengan pangsa pasar cuma 2% ya nggak besar pengaruhnya. Tapi dengan semakin dalam pengetahuan atas syariah, untuk ke depan akan lebih baik,” paparnya.
Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Riawan Amin mengatakan sistem ekonomi syariah baru bisa memberikan penjelasan mengenai suku bunga (riba) saja, sehingga perlu ada perubahan pemahaman secara makro. Dalam skala makro, sambungnya, implementasi sistem keuangan juga perlu berubah agar tidak termakan jenis transaksi yang berbau spekulasi. “Misal perlu ada perubahan sistem nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang banyak mengandung unsur spekulasi.”
Pandangan sistem syariah lebih tahan terhadap krisis juga disampaikan Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Muhammad Shaifie Zein. Menurut dia, di tengah gejolak krisis keuangan saat ini, asuransi syariah, khususnya di sektor jiwa, menunjukkan kinerja yang lebih stabil dibandingkan dengan konvensional.
Ini terlihat dari perbandingan antara klaim dengan kontribusi atau premi (loss ratio) di asuransi jiwa syariah mengalami penurunan dari 38,1% di 2007 menjadi 25,9% 2008. Padahal, loss ratio asuransi jiwa konvensional meningkat dari 43,3% menjadi 72,6% pada 2008. “Artinya tidak banyak dari pemegang polis asuransi syariah yang melakukan redemption terhadap polisnya,” tuturnya.
Dia memperkirakan redemption lebih rendah karena produk asuransi jiwa syariah tidak terlalu menonjolkan investasi namun lebih ke proteksi sehingga masyarakat merasa aman.
Selain itu, konsentrasi penjualan asuransi syariah belum seluas konvensional dan baru menyentuh masyarakat kota. Di sektor asuransi kerugian loss ratio memang tercatat cukup tinggi di angka 38% namun masih lebih bagus dibandingkan dengan pencapaian konvensional 44%.
(Hanna Prabandari)