Mengusung strategi pembukaan 400 Teras BRI di pasar-pasar tradisional tahun ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk tidak mau berlama-lama terlena dengan predikat penguasa pembiayaan sektor mikro.Apakah ini ancaman bagi PT Bank Danamon Indonesia Tbk yang lebih awal menjadikan pasar sebagai basis operasi Danamon Simpan Pinjam (DSP)?
Tanda-tanda BRI hendak merebut kembali sebagian kue pembiayaan mikro yang sempat turut dinikmati Danamon Simpan Pinjam sudah terasa sejak pertengahan 2008.
Bank ini memperkenalkan pemindai data elektronik (electronic data capture/EDC), yang menjadi peranti wajib para mantri-sebutan tenaga pemasaran bisnis mikro-keluar masuk pasar, menjemput dana nasabah untuk bayar cicilan atau menabung. EDC tidak lain adalah perangkat transaksi berbasis teknologi telekomunikasi seluler yang bisa dibawa bergerak (mobile). Jadi, fungsinya seperti teller berjalan, memudahkan nasabah bertransaksi tanda perlu datang ke kantor bank.
Pekan lalu, penggunaan EDC di-bundel dalam satu paket dalam kendali Teras BRI, diresmikan oleh Dirut Sofyan Basir, di pasar Tawangmangu, Karang Anyar, Jawa Tengah. Bila tak ada aral melintang, 200 Teras dibuka pada paruh pertama tahun ini, dan 200 sisanya pada semester berikutnya. Teras BRI menyedikan teller, customer service, dan account officer dilengkapi dengan EDC realtime online, sehingga uang akan langsung masuk ke sistem pembukuan BRI. Mengapa memilih pasar tradisional?
Direktur Operasional BRI Suprajarto menuturkan potensi bisnis di pasar tradisional sangat besar. Dia mengakui beberapa waktu lalu BRI sempat terlena, sehingga lahan bisnis itu dikuasai oleh bank lain. Kendati tanpa menyebut nama, bisa diduga yang dimaksud Suprajarto adalah Danamon Simpan Pinjam. Sebagaimana diakui oleh Direktur Bank Danamon Ali Yong, DSP memang fokus ke sektor perdagangan di sekitar pasar. “Setahu saya, pesaing utama DSP sejak awal adalah BRI. Makanya saya agak heran bila mereka kini masuk pasar tradisional. Mungkin yang dimaksud adalah revitalisasi bisnis saja,” komentar Ali, kepada Bisnis, kemarin.
BPR pesaingnya ?
Selain BRI, menurutnya, pesaing utama dalam memperebutkan kue pembiayaan mikro di lingkungan pasar tradisional adalah bank perkreditan rakyat. “Banyak bank lain juga masuk, tetapi yang terasa kuat bagi kami BRI dan BPR.” Bila merunut pendapat Ali, bank-bank lain memang makin meminati sektor mikro, kebanyakan dengan plafon kredit kurang dari Rp100 juta. Sebut saja PT Bank Mega Syariah Indonesia, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), The Hongkong Shanghai Bank Corporation (HSBC), Citibank, hingga PT Bank Mayapada Tbk. Namun, Citibank dan HSBC cenderung pada pembiayaan konsumer.
Alasan klise yang selalu mengemuka mengapa bank terjun ke sektor mikro adalah potensi masih terbuka lebar, debitor tahan banting, dan satu lagi-mungkin ini motif terbesarnya-pembiayaan mikro memberikan margin paling besar dibandingkan dengan jenis pembiayaan apa pun. DSP selama ini mengambil margin bunga bersih sebesar 11% dan Bank Mega Syariah malah menyebut padanan lebih dari itu. Bandingkan dengan margin industri perbankan Indonesia yang hanya 5,6%. BRI telah lama dinobatkan sebagai bank dengan net interest margin terbesar di Indonesia (bahkan di dunia). Ini karena fokus pada pembiayaan mikro.
Bank terbesar kedua di Indonesia itu kini mengelola 4.417 BRI Unit yang tersebar pada kota kecamatan di pelosok Tanah Air dengan total kredit per September 2008 sebesar Rp41 triliun. Bank Danamon hanya memerlukan waktu 5 tahun untuk membuka 1.049 DSP dan telah menyalurkan kredit tidak kurang dari Rp11 triliun, alias 16% dari total kredit perseroan.
BRI dalam banyak hal memang masih memimpin pasar pembiayaan mikro, apalagi bank ini juga mencatat sukses menyalurkan kredit usaha rakyat mikro (kurang dari Rp5 juta) sebesar Rp5,7 triliun untuk 1,48 juta nasabah hanya dalam 1 tahun. Berpengalaman lebih dari 100 tahun, membuat bank ini tahu bagaimana seharusnya menciptakan basis nasabah baru Namun, kehadiran DSP juga tidak bisa dianggap remeh, apalagi oleh pendatang baru, seperti Bank Mega Syariah dan BTPN. Bank yang disebut terakhir adalah contoh mutakhir bagaimana perang memperebutkan kue bisnis mikro terjadi.
Kita tentu masih ingat, bagaimana eksodus para bankir mikro terjadi di Bank Danamon tahun lalu. Para konseptor DSP secara bersama-sama melompat ke BTPN, untuk kemudian melakukan kloning layanan bisnis mikro lewat Mitra Usaha Rakyat (MUR). MUR dan DSP sekilas sebenarnya adalah unit usaha dengan konsep yang kurang lebih sama, hanya di bawah bendera perusahaan yang berbeda. Dalam 4 bulan terakhir ini, BTPN mengendalikan sedikitnya unit 110 MUR di berbagai tempat. “Makin banyak pemain di bisnis ini sebenarnya justru makin bagus.
Sejak tahun 2000, saya sudah mempelajari karakter bisnis ini, membandingkannya dengan sejumlah negara. Untuk pembiayaan mikro, Indonesia dengan kontribusi terbesar BRI, masih paling bagus,” tutur Jerry Ng, Dirut BTPN. Menurut Ali, membuka jaringan kantor untuk melayani para pengusaha mikro memerlukan investasi yang tidak kecil. Dia menyebut Rp400 juta untuk setiap unit DSP yang didirikan. Itu artinya Bank Danamon telah merogoh kocek tidak kurang dari Rp400 miliar untuk lebih dari 1.000 DSP. “Itu belum termasuk sistem di kantor pusat. Perlu 3 tahun untuk kembali modal, dan setidaknya 700 DSP untuk mencapai tingkat keekonomian.”
Sementara itu, Bank Mega Syariah telah mendirikan lebih dari 200 Mega Mitra Syariah (M2S) dalam 9 bulan terakhir ini. Bank Mega Syariah, sejak beberapa tahun terakhir ini berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pola pembiayaan bersama sebagai penopang bisnis. Bank itu, telah menentukan jalan di bisnis pembiayaan mikro.
“Potensi bisnis mikro masih besar, apalagi bila sebagai bank syariah kami ingin dekat dengan nasabah akar rumput. Tipikal bank syariah kan memang seperti itu,” tutur Benny Witjaksono, Dirut Bank Mega Syariah. Dia menargetkan M2M kembali modal hanya dalam 11 bulan. Untuk satu unit dengan sembilan karyawan, bank milik CT Corporation itu mengeluarkan dana investasi awal Rp400 juta. BNI gagal Namun, mengelola bisnis mikro tidak semudah dan semanis hasilnya seperti saat melihat Danamon dan BRI menikmati buah kerja kerasnya.
Beberapa bank sebenarnya telah melakukan hal yang sama, tetapi menemui kegagalan. Pada 2001, PT Bank Negara Indonesia Tbk di bawah kepemimpinan Saefuddien Hasan telah merintis Unit Layanan Mikro (ULM). Konsep yang diusung kurang lebih sama, mendekat ke sektor perdagangan pasar tradisional. Namun, cikal bakal bisnis mikro BNI kandas saat Saifuddien digantikan oleh Sigit Promono.
Tidak ada penjelasan resmi mengapa unit bisnis itu dilikuidasi.
Terbetik kabar, ULM BNI banyak terjebak kredit macet, akibat keahlian menangani bisnis itu secara langsung sangat terbatas. Sebagai pengganti, BNI kemudian lebih banyak menjangkau para pengusaha mikro melalui linkage program dengan sejumlah BPR, sebuah langkah yang juga ditempuh oleh puluhan bank lain. Hanya saja, sebagian besar pemain bisnis mikro masih terlalu menggantungkan bisnis pada sisi pembiayaan.
Padahal, untuk menjamin keberlanjutan bisnis ini dalam jangka panjang, diperlukan keseimbangan penghimpunan dana dan kredit. Selain BRI, tak ada satu pun bank yang berani merilis secara gamblang berapa dana yang dihimpun dari masyarakat oleh unit bisnis mikro. Mega Syariah, seperti diakui Benny, baru fokus pada pembiayaan dalam menjalankan M2S. “Dalam jangka panjang, tidak bisa tidak bank memikirkan funding dari bisnis ini.
Memang sulit 100% ekspansi dibiayai dari unit bisnis ini, tapi itu harus diupayakan” tutur Jerry Ng. Dalam pandangannya keseimbangan sumber dana dan pembiayaan merupakan persyaratan dalam menjamin bisnis mikro bisa tetap berjalan. Di samping itu, tuturnya, dukungan berupa ketersediaan jaringan mutlak diperlukan.
Jerry Ng juga mengingatkan pentingnya kesabaran mengelola bisnis mikro. Sebab berkaca pada pengalaman, tidak semua bank memiliki hal ini. Jadi, tinggal kita tunggu siapa yang terus bertahan pada 5 atau 10 tahun mendatang.
www.bisnis.com oleh : Hery Trianto