Oleh : Saat Suharto Amjad**
ABSTRAKSI :
Pada era akhir tahun –80-an, iklim perekonomian Indonesia sangat terpusat pada sekelompok orang dan ditandai dengan era konglomerasi, kesenjangan sosial sangat nyata terlihat. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tinggi sehingga disebut sebagai the miracle of Asia atau bahkan disebut sebagai salah satu The Tiger of Asia, akan tetapi di sisi lain, pasar-pasar tradisional dipenuhi dengan para lintah darat yang memberi kredit dengan bunga diatas 10% perbulan, dan masyarakat merasakan perekonomian sangat sulit.
Meskipun pada waktu itu terdapat pula Bank yang diidentikkan dengan pembiayaan mikro, bahkan kemudian tumbuh menjadi lembaga microfinance yang sangat dikenal dunia, akan tetapi pada para pelaku ekonomi di pasar-pasar tradisional pinjaman yang dibutuhkan benar-benar tidak tersedia, pada waktu itu muncullah Koperasi Ridlo Gusti di Bandung, yang menggunakan konsep syariah.
Kehadiran Koperasi berbasis syariah inipun segera menjadi inspirator bagi berdirinya lembaga sejenis yang kemudian disebut sebagai Baitul Maal Wa-at Tamwil (BMT). Kemunculan lembaga swadaya masyarakat dibidang ekonomi ini, bersamaan waktunya atau secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi pula oleh kemunculan Bank Islam pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Secara bersamaan pada waktu itu pula greget pendalaman agama sangat marak terutama dimotori oleh kampus-kampus dan pada saat yang sama tumbuh pula lembaga-lembaga yang bercorak Islam di skala nasional seperti DD Republika dan PINBUK, serta lembaga-lembaga yang lain yang di inisiasi oleh seperti NU dan Muhammadiyah, maupun lembaga yang dilahirkan oleh BMI yaitu BMM, bersama dengan lembaga-lembaga tersebut, seluruh eksponen umat tergerak untuk membuat BMT dan muncullah era BMT sebagai suatu gerakan ekonomi umat.
Sesuai pengertian istilahnya, BMT melaksanakan dua jenis kegiatan, yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Sebagai Baitul Maal, BMT menerima titipan zakat, infaq, dan shadaqah serta menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan sebagai Baitul Tamwil, BMT bergiat mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha kecil bawah dan kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan memberikan pembiayaan sesuai kegiatan usahanya.
Sebagai Baitul Maal, selain melakukan kegiatan-kegiatan penghimpunan Zakat Infaq shadaqah dan Waqaf, BMT melakukan kegiatan penyaluran sesuai asnafnya dengan kegiatan-kegiatan yang beragam, mulai bantuan langsung untuk yang benar-benar membutuhkan, seperti sembako untuk penanggulangan bencanan, bantuan berobat, beasiswa, dll. Hingga yang berupa pinjaman bergulir yang dijalankan tanpa motivasi mencari keuntungan bagi BMT sehingga peminjam tidak dibebani biaya apa pun ( Qord/ Qordul Hasan) .
Tumbuhnya Lembaga Keuangan Mikro Syariah atau Islamic Micro finance, sebagaimana di Indonesia ini ternyata mempunyai kekhasan dan tidak ditemukan pada negara-negara lain, seperti Malaysia maupun timur tengah, yakni disebut BMT (Baitulmaal wa Tamwil). Biasanya dua lembaga ini berdiri sendiri-sendiri, dan tidak ditemukan yang digabungkan dalam satu lembaga seperti dalam kasus di Indonesia. Ke khasan ini menjadi menarik, apalagi jika dikaitkan dengan kemanfaatan, dimana dalam peran sebagai lembaga keuangan mikro syariah BMT berperan dalam menejemen keuangan dalam masyarakat, sedang dalam peran sebagai lembaga Maal, BMT memainkan peran-peran sosialnya .
BMT Sebagai Baitul Maal
Beberapa kritik mengenai penggunaan istilah Baitul Maal dalam institusi BMT. Kritik dan keberatan tersebut terutama karena istilah Baitul Maal telah menjadi suatu istilah yang menjadi sendi suatu negara Islam, sehingga penamaan Baitul Maal pada institusi non pemerintah seperti BMT ini dikhawatirkan akan mereduksi istilah Baitul Maalitu sendiri.
Telah kita pahami bersama, bahwa pada masa nabi, Baitul Maal adalah suatu lembaga struktural suatu negara yang melakukan tugas untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari Zakat; infaq; shodaqoh; waqaf, jizyah, kharaj; ghanimah,dll. Pada masa itu Baitul Maal berfungsi sebagai perbendaharaan negara.
Pada negara-negara Islam telah lazim muncul lembaga yang mengelola waqaf atau mengelola infaq dan shadaqah dan mentasharufkan untuk kepentingan sosial. Akan tetapi dala kasus di Indonesia karena negara tidak memerankan diri sebagai pemungut Zakat, maka telah lazim pula adanya lembaga yang mengumpulkan Zakat dari masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pendefinisian Baitul Maal tersebut gerakan BMT sendiri, tentu tidak memerankan diri sebagaimana terminologi awalnya, akan tetapi mendefinisikan diri sebagai lembaga yang mengumpulkan zakat; infaq; shadaqah dan waqaf dan mentasharufkannya untuk kepentingan umat. Bahkan, pada beberapa kasus dalam hal pengumpulan zakat hanya berperan menjadi lembaga pengumpul zakat, sedang pentasyarufannya diserahkan kepada pihak lain.
Para pegiat BMT membuat pernyataan yang dimuat dalam “Haluan BMT 2020” bahwa jati-diri BMT adalah lembaga dakwah dibidang ekonomi syariah, yang menggunakan Baitul Maal dan Baituttamwil sebagai sarana dakwahnya. Dengan pemikiran ini, maka membahas BMT dalam aktifitas finansialnya (Baituttamwil) semata tentu akan menjadi bias, karenanya dalam tulisan ini kedua lembaga dalam BMT dianggap menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, antara fungsi sosial dan finansialnya.
Microcredit dan microfinance
Peran pembiayaan mikro sebagai sarana untuk melakukan pengurangan kemiskinan telah diakui oleh dunia, terutama setelah Muhammad Yunus pada tahun 2006 mendapatkan penghargaan nobel. Di Indonesia, lembaga keuangan mikro telah tumbuh jauh lebih tua dari Grameen Bank, yakni dengan didirikannya Bank Rakyat Indonesia (BRI), apalagi setelah studi pada tahun 70-an telah dilakukan oleh Ann Dunham alias Ann Soetoro (ibu Presiden Obama) dan melahirkan BRI Unit Desa (BRI-UD), maka peran mikrofinance untuk mengangkat dan menyejahterahkan masyarakat keluar dari kemiskinan makin menjadi arus utama pemikiran.
Berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan, selain lembaga-lemabaga yang bersifat carity,lembaga yang juga diyakini efektif dalam pemberdayaan kaum miskin adalah lembaga micro credit atau Micro finance.
Microcredit sebagai lembaga yang melayani jasa kredit kepada masyarakat miskin. Dalam pemikiran ini para pendukungnya percaya bahwa akar persoalan kemiskinan adalah tiadanya akses pembiayaan dari lembaga keuangan, sehingga mereka percaya memberikan akses pembiayaan (kredit) adalah sarana yang diperlukan untuk mereduksi kemiskinan tersebut. Akan tetapi dikalangan ekonom dan praktisi sebagiannya merasa bahwa pemberian kredit/ pembiayaan semata tanpa dilengkapi dengan sarana keuangannya yang lain dirasa kurang cukup efektif, maka lembaga keuangan yang bergerak di level mikro tersebut harus pula di desain untuk memiliki semua layanan keuangan yang meliputi : akumulasi aset (asset accumulation), kredit (lending), asuransi (risk mitigation) dan layanan keuangan lain seperti transfer &remittance dan lain sebagainya. Lembaga tersebut disebut sebagai Microfinance.
Secara umum, paradigma para pelaku pembiayaan pada usaha mikro sedang mengalami pergeseran dari micro credit menuju micro finance. Hal ini tercermin pula pada tokoh-tokohnya seperti dicerminkan dari perkataan Muhammad Yunus “cari orang yang paling miskin, kasih mereka kredit dan kemudian mereka akan berdaya” . Sedangkan disisi lain BMT sebagai lembaga dakwah, itu percaya “cari orang miskin yang memiliki aktivitas ekonomi, ajak mereka menabung, setelah mereka merasa mampu berusaha, baru diberi treatment pemberdayaan untuk meningkatkan kapasitas”. Intinya, mereka bekerja dulu, kemudian menabung sehingga mempunyai kemampuan untuk mandiri, baru diberi skema pembiayaan. TAMZIS pun telah mendifinisikan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro syariah semenjak tahun 2006.
Proses Berfikir Mencari Tolok Ukur Kemanfaatan
Dalam tugas keseharian sebagai Pengurus Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center) dan pungurus Baituuamwil TAMZIS, saya sering ditanya mengenai manfaat dari BMT dalam membiayai usaha mikro. Bahwa memberikan pembiayaan kepada pengusaha mikro itu sendiri ditengah ketiadaan akses yang menyebabkan mereka jatuh ke tangan rentenir adalah merupakan suatu manfaat yang besar, akan tetapi melihat kenyataan bahwa pengusaha mikro yang dibiayai sebagian besarnya masih sebagai pedagang mikro dan sangat sedikit yang mampu naik kelas menjadi pedagang kecil atau pengusaha kelas menengah, maka jawaban ini tentu tidaklah memuaskan.
Alternatif untuk mencari alternatif tolok ukur kemanfaata, sebenarnya berawal dari pertanyaan yang bernada kritikan dari seorang kolega saya yaitu saudara Adji Dedy Mulawarman, seorang doktor akuntansi syariah Universitas Brawijaya. Pertanyaan itu sendiri tidaklah secara langsung mempertanyakan tentang kemanfaatan BMT, akan tetapi lebih kepada mengkritik cara berfikir saya tentang tolok ukur keberhasilan suatu usaha yang menurutnya bersifat kapitalistik, karena masih mengacu kepada growth (pertumbuhan) semata.
Ketika hal ini dikomparasikan kepada tolak ukur sebuah institusi lembaga keuangan mikro yang telah berlaku secara luas secara internasional adalah; pertama, Sustainability (keberlangsungan ). Kedua, Financial (asset, laba, portofolio pembiayaan dan portofolio simpanan meningkat). Ketiga, Outreach (akses lembaga keuangan, dalam artian semakin miskin yang dilayani, lembaga tersebut semakin baik dan semakin banyak yang dilayani semakin baik pula). Ukuran ini sebenarnya, sudah bukan lebih luas dari ukuran keuangan semata, terutama tolok ukur Outreach ini telah menyentuh aspek sosial, meskipun begitu, masih hanya menyentuh sisi material.
Kritikan kolega tersebut membuat saya berpikir ulang, tentang apa yang seharusnya menjadi ukuran-ukuran sebuah keberhasilan, terutama bagi suatu lembaga keuangan mikro syariah (Islamic microfinance). Apalagi mengingat perjalanan panjang memimpin TAMZIS sejak tahun1992. Maka, mencari jawaban dari apakah hal-hal yang telah kami lakukan di TAMZIS ini sungguh-sungguh telah membawa kemanfaatan kepada umat menjadi suatu tantangan.
Gagasan Awal
Pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) 2008, Tamzis telah merumuskan beberapa kemanfaatan TAMZIS. Pertama, TAMZIS memberikan layanan tabungan/simpanan kepada masyarakat dan anggota. Kedua, Tamzis memberi layanan instrument untuk mengatur atau merencanakan keuangan kepada masyarakat. Ketiga, TAMZIS member layanan pembiayaan kepada masyarakat miskin yang aktif dalam ekonomi atau pengusaha mikro.
Dalam kacamata berfikir di internal TAMZIS jika ditanyakan, mengapa masyarakat menjadi miskin? TAMZIS mempercayai kemiskinan dalam masyarakat tersebut dikarenakan masyarakat itu tidak memiliki kebiasaan menabung. Masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menabung hampir pasti pula tidak memiliki perencanaan keuangan. Masyarakat semacam ini tidak memiliki kekuatan terhadap unsur-unsur kerentanan dan atau bencana, seperti kematian, bencana alam, kegagalan panen, dll. Sehingga ketika suaminya meninggal atau anaknya sakit, maka keluarga tadi menjadi tidak mampu mengatasi dengan sumber keuangan yang ada dan jatuhlah mereka kepada rentenir yang ujung-ujungnya mengantarkan mereka kepada kemiskinan.
Mengapa tabungan itu penting? Karena dengan menabung, masyarakat menjadi kuat dari goncangan luar, bisa melalui iklim yang kurang bagus, ada bencana, situasi politik yang tidak mendukung, sehingga semakin tahan masyarakat terhadap faktor-faktor ini, akan berdampak kuat fundament orang miskin tersebut.
Didalam cara berfikir TAMZIS, masyarakat yang telah diajari budaya menabung dan merencanakan keuangan inilah yang boleh diberi pembiayaan, karena secara mental mereka telah siap untuk menolong dirinya sendiri. Sehinggga sebenarnya dalam kaca mata TAMZIS, masyarakat bisa menolong dirinya sendiri, sedang pihak luar hanyalah sebatas lembaga yang diajak kerja sama dalam mengembangkan dirinya.
Sebagai upaya untuk melakukan edukasi agar masyarakat memiliki budaya menabung itulah, maka TAMZIS menerapkan tabungan dengan sistem jemput bola atau officer visit customer (OVC) sehingga para karyawan mendatangi anggota dan bukan customer visit officer (orang datang ke kantor, sebagaimana umumnya waktu itu lembaga keuangan beroperasi) kepada pengusaha mikro.
Karena demikian pentingnya manfaat akan tabungan dan dengan demikian layanan tabungan dengan sistim jemput bola yang telah dilakukan TAMZIS sejak tahun1992 nilai manfaatnya tentu juga sangat besar, maka perlu kita lihat sejarah menabung dalam bentuk uang tunai di Indonesia.
Sesungguhnyalah kebiasaan menabung dalam bentuk cash ini belum berlangsung lama di negeri ini. Masyarakat Indonesia sebelum tahun 70-an memiliki kebiasaan menabung bukan dalam bentuk uang, tapi berbentuk bentuk lain seperti Rojokoyo (istilah jawa) untuk menggambarkan kekayaan dalam bentuk ternak, ada menabung dalam bentuk emas, maupun menabung didalam lumbung dalam bentuk bulir padi, jagung dll. setelah program TABANAS dikenalkan Orde Baru kepada masyarakat, maka masyarakat mulai menggunakan sarana tabungan dalam bentuk uang tunai (cash).
Secara Makro, kebiasaan menabung didalam suatu masyarakat juga sangat menentukan kuat tidaknya fundamental ekonomi suatu negara. Bukankah Hatta pernah berkata dalam salah satu tulisannya, bahwa negeri ini tidak boleh dibangun oleh hutang luar negeri atau investasi asing, tetapi negeri ini harus dibangun oleh tabungan dalam negeri. Masyarakat yang memiliki kebiasaan menabung, akan memiliki fundamental ekonomi yang kuat karena produktifitas dalam jangka panjang dalam masyarakat tersebut akan terjaga.
Manfaat TAMZIS dalam masyarakat adalah sebagai suatu lembaga yang memberi layanan keuangan dalam bentuk saving (suplay side), harapannya masyarakat akan menggunakan juga sebagai pengatur keuangan, dimana anggota dapat menabung kapan saja, dan mengambil kapanpun ketika dibutuhkan serta ada bagi pula hasil dalam tabungannya. Adanya bagi hasil ini akan memberi manfaat pula bagi orang yang tidak dapat memutarkan dananya sendiri, sehingga adanya dana yang semula disimpan dilemari menjadi diletakkan dalam institusi keuangan,dan dengan demikian uang akan kembali menjadi milik publik dan dapat diefektifkan untuk meningkatkan produktifitas dalam suatu masyarakat.
Uang dalam Islam adalah milik publik dan bukan milik pribadi, sehingga menarik kembali uang dalam institusi yang dapat menjadi sarana intermediary, akan menjadikan fungsi uang dapat teroptimalisasikan. Jika uang terkumpul dalam penguasaan satu orang, dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, maka hal tersebut akan menjadikan keringnya likuiditas, dan kesulitan transaksi yang pada gilirannya akan menurunkan produksi.
Dengan adanya TAMZIS dalam perannya sebagi lembaga intermediary, maka manfaat adanya TAMZIS ini dapat dirasakan dengan mengalirnya uang-uang yang semula mengendap dalam ranah pribadi orang-orang kaya didalam suatu masyarakat dengan adanya mekanisme pembiayaan dapat diakses oleh para pengusaha mikro. Hal ini sesuai dengan Al-qur’an surat al-hasyr ayat 7 yang menekankan agar harta-harta itu tidak terkumpul di kalangan orang-orang kaya saja disuatu masyarakat. Maka dengan demikia uang tidak terletak pada sentrum-sentrum tertentu, seperti di Jakarta saja, atau berputar dikalangan orang kaya saja, atau sekelompok orang tertentu saja. Maka TAMZIS berperan sebagai lembaga keuangan yang mengatur arus keuangan tersebut.
Manfaat yang lain dari TAMZIS adalah memberi jasa layanan keuangan, khususnya pembiayaan syariah kepada pengusaha mikro atau masyarakat mikro. Sebagai lembaga micro finance, maka semakin dapat menyentuh kebawah yang dilayaninya yakni pada masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi, maka makin baiklah perananya dalam mereduksi kemiskinan. Demikian pula semakin banyak yang dapat dilayani dan semakin luas layanannya akan semakin baik pula kemampuan lembaga tersebut sebagai institusi yang dapat menjadi sarana mengangkat masyarakat dari jurang kemiskinan.
Mencari Tolok Ukur Yang Lebih Komprehensif
Suatu ketika, ada kolega lain yang bertanya kepada saya, “Pak saat, TAMZIS memberi pembiayaan kepada siapa saja?” saat itu saya menjawab bahwa pembiayaan TAMZIS diberikan kepada pedagang yang ada dipasar-pasar, tukang cukur, pedagang sayur, bakso, klontong. Kemudian kolega tersebut melanjutkan pertanyaanya, “anda ini memberi modal kepada mereka rata-rata 2 juta dengan portofolio 5-10 bahkan ada juga yang 100 ribu, kalau pedagang sayur diberi pembiayaan 5 juta lalu untuk apa uang tersebut, jika dagangan sayurnya saja tentu tidak sampai 5 juta?
Disamping pertanyaan tersebut, ada pula pertanyaan lain seperti apakah ada bukti bahwa TAMZIS itu dapat meningkatkan pengusaha mikro atau kecil, misalnya dari pengusaha mikro kemudian setelah mendapat pembiayaan tumbuh menjadi pengusaha kecil atau bahkan menjadi pengusaha kelas menengah. Setelah saya mengecek dilapangan, kalaupun adapula kejadian bahwa hasil layanan TAMZIS telah mengantarkan pengusaha mikro menjadi pengusaha kecil, atau pengusaha kecil menuju kelas menengah, akan tetapi kejadian tersebut prosentasenya sangat kecil, padahal lembaga ini telah memberi pembiayaan sejak tahun 1992.
Apakah dengan begitu TAMZIS telah gagal dalam membantu pengusaha mikro? Betapapun menyakitkan, akan tetapi bagi saya, mengetahui kita gagal akan tetapi dengan tolok ukur yang jelas, akan lebih baik, karena dengan demikian kita dapat belajar untuk berhasil. Daripada dinyatakan telah berhasil, akan tetapi tanpa ada tolok ukur yang jelas.
Akan tetapi seperti apakah ukuran yang harusnya digunakan bagi TAMZIS untuk mengukur kinerjanya dalam memberikan kemanfaatan dalam masyarakatnya? Apakah yang harusnya dijadikan basis pengukuran? Apakah berbasis individu-individu pedagang sebagai pribadi-pribadi, atau dalam satu kumpulan masyarakatnya? Ataukah dalam satuan keluarganya.
Waktu itu, tahun 2008 di dalam diskursus dicoba untuk digagas suatu tolok ukur yang kami sebut, TAMZIS welfare indeks atau indek kesejahteraan TAMZIS. Pengukuran ini didasari suatu asumsi bahwa para pengusaha mikro tidak membedakan antara keuangan pribadi dan keuangan modal. Artinya para pengusaha mikro menggunakan uang pribadi untuk usaha dan jika ada kebutuhan untuk keluarganya mengambil pula dari keuangan usahanya.
Maka untuk mengukur keberhasilan pembiayaan kepada usaha mikro dengan hanya mengukur kinerja keuangan dari usahanya saja menjadi kurang relevan. Maka dengan pemikiran itu menjadi masuk akal jika ruang lingkup pengukurannya diperlebar kepada kesejahteraan keluarganya. Dan dalam kenyataannya pula kita saksikan dengan kasat mata bahwa orang-orang yang berhubungan dan mendapat pembiayaan tersebut kesejahteraannya meningkat. Kesejahteraan apa sajakah yang meningkat? Rumahnya menjadi lebih bagus, dimana semula berlantai tanah menjadi berlantai semen atau bahkan sudah menggunakan keramik, atau tadinya berdinding setengah tembok, menjadi tembok penuh. Dari pakaian yang dikenakannyapun telah menunjukkan peningkatan, demikian pula ketercukupan pangan dan kandungan gizinya, pendidikan anaknyapun terlihat semakin tinggi.
Akan tetapi, gagasan TAMZIS Welfare indeks tersebut tetap saja belum dapat menjawab kritik tentang ukuran-ukuran yang masih bersifat materialistis semata.
Dalam perjalanan intelektual itu, suatu ketika saya bertemu dengan Bapak Haji Mashudi Muqarrabin, doktor ekonomi Islam lulusan Malaysia yang sedang menggagas tentang penerapan Qowaid As-Syariah (ketentuan hukum-hukum fiqh untuk akad-akad di lembaga keuangan). Berkenaan dengan itu kemudian saya di bawakan, beberapa makalah-makalah terkait dengan ekonomi islam, salah satu makalah yang diberikan tersebut, ada makalah yang berkait dengan Maqosid Syariah.
Dalam makalah tersebut, diterangkan tentang Maqosid Syariah, atau tujuan diturunkannya syariah. Jumhur ulama memiliki pendapat yang sama bahwa Maqosid Syariah itu adalah kesejahteraan masyarakat. Sehingga segala hal yang menjadikan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, maka menjadi semakin dekatlah kepada tujuan dari Syariah. Hanya saja para ulama berpendapat berbeda pada parameter-parameter terhadap kesejahteraan itu. Dalam buku The Future Economic karya Capra menekankan pada sisi ‘penjagaan’ sesuai dengan cara berpikirnya Al-Ghazali dan As-Syatiby yang menyatakan bahwa Maqosid Syariah itu pada penjagaan atau Khifdhu terhadap Al-Aql (akal pikiran), Addien (agama), Nasl (keturunan), Nafs(kemanusiaan) dan Maal (harta benda).
Dari beberapa buku dan makalah yang saya baca, saya melihat bahwa semua mengikuti pemikiran tersebut yaitu melihat maqashid syar’i dari sisi fiqh sehingga lebih menekankan fungsi syariah sebagai alat untuk menjaga lima parameter kesejahteraan tersebut.
Mungkin karena latar belakang saya yang awam dari sisi agama dan tidak mengerti tentang istimbat (memutuskan) hukum dalam Islam, dan sama sekali tidak memiliki basis ilmu yang memadai dalam hukum Islam. Sehingga saya tidak dalam kapasitas melakukan ijtihad hukum, akan tetapi kita lebih pada kebutuhan sebagai praktisi yang membutuhkan kerangka, maka saya mengartikan kelima parameter tadi tidak dalam kerangka penjagaan, akan tetapi justru sebaliknya yaitu titik fokusnya pada tumbuhnya lima parameter Maqosid Syariah tersebut. Dengan demikian jadilah suatu indeks dari kemanfaatan lembaga keuangan didalam masyarakat yaitu dengan mengukur pertumbuhan lima parameter tadi yaitu : Aql, Dien, Nasl, Nafs dan Maal. Dimana lima aspek ini di dalam Buku RAT tahun 2009 ditulis sebagai : Aspek Pendidikan; Aspek Spiritualitas; aspek Kesehatan; aspek Sosial dan Aspek Finansial.
Dengan adanya lima aspek/ parameter yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ini, maka kritik tentang bias materialisme dalam pengukuran pertumbuhan telah dapat dipatahkan, karena perhitungan yang digunakan sangat komprehensif karena telah melampaui batas materi yaitu meliputi spiritualitas dan telah pula melampaui batas individu karena telah mengukur pula aspek sosial. Dan tolak ukur yang terakhir inilah kita anggap sebagai tolak ukur paripurna.
Bagaimana Mengukur parameter kejahteraan tersebut?
Setelah terjawab tentang parameter yang harus diukur, maka timbul pertanyaan lanjutannya yaitu tentang bagaimana cara mengukurnya. Apakah diukur secara individu seperti indeks kemiskinan yang sekarang ini digunakan yaitu Human Poverty Index yang dikritik oleh beberapa teman sebagai lahir dari pemikiran yang antroposentris, atau yang diukur adalah masyarakatnya secara keseluruhan berdasarkan geografis tertentu.
Maka saya teringat bacaan sewatu kuliah dahulu, bahwa Ali syariati, Al-faruqi dan banyak ulama yang lain menyatakan bahwa unit yang terkecil dari umat adalah Rumah tangga. Maka kita coba menggali indikator yang bisa diukur adalah berbasis rumah tangga, bukan individu atau masyarakat, akan tetapi rumah tangga. Maka terciptalah sebuah model berikut ini :
Rumah Tangga Utama adalah suatu rumah tangga dimana parameter-parameter Spiritualitas, sosial, Pendidikan Kesehatan dan finansial berada dalam kondisi yang bagus.
Akan tetapi dalam kenyataannya jarang sekali terdapat suatu keluarga yang kelima-lima parameter dalam kondisi yang paripurna sejahtera semuanya, disisi yang lain jarang pula ditemukan suatu rumah tangga dimana kesemua dari lima parameter tersebut berada dalam kondisi pra sejahtera. Lalu, apakah karena satu parameter belum sejahtera kemudian suatu keluarga dapat dikatakan belum sejahtera, atau karena satu parameter yang telah mencapai suatu kesejahteraan sementara parameter yang lain belum, maka keluarga tersebut dapat digolongkan sebagai rumah tangga utama? kemudianbagaimana cara mengukur parameter tersebut dalam sebuah rumah tangga?
Pada model yang telah digambarkan dalam diagram, maka terdapat bangun segi lima yang berpusat pada suatu titik. Dari situlah pengukuran itu dapat dilakukan. Setiap radian mewakili satu parameter yang diukur, dimana pada satu radian dibuat skala pengukuran dari 5 sampai 25, dimana pada waktunya nanti dibuat ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengukur tiap skala pada parameter tersebut. Berbeda dengan model keluarga utama yang kelima parameternya menunjukkan skala 25 semuanya, maka menunjukkan bangun segilima sempurna dengan ukuran terbesarnya, akan tetapi jika suatu keluarga setelah diukur ternyata kelima parameter berada dalam prasejahtera 2 yang ditunjukkan dalam skala 5 maka keluarga tersebut dapat digambarkan dalam suatu bangun segilima sempurna, akan tetapi bentuknya kecil.
Pada beberapa keluarga jika diukur, maka beberapa parameter mungkin berada pada skala 5, akan tetapi beberapa parameter yang lain dalam skala 10, 15, 20 atau bahkan 25 sehingga tidak menunjukkan bangu segilima sempurna.
Jika kita ingin mengukur dalam suatu masyarakat,maka dapat dijumlahkan dan kemudian dibagi kedalam jumlah keluarga untuk dapat diketemukan reratanya.
Dengan metode pengukuran yang demikian ini, maka akan memudahkan kita untuk melihat seperti apakah model rumah tangga atau keluarga dalam masyarakat tersebut.dan dapat dilihat dari kelima aspek tersebut, manakah,atau manakah saja yang memiliki index kesejahteraan yang paling rendah, dengan demikian akan memudahkan kita dalam melakukan treatmen pada masyarakat tersebut aspek mana yang perlu diperbaiki. Apakah spiritualitasnya, ekonominya, kohesifitas sosialnya, atau kesehatannya dan sebagainya. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan selama ini.
Skala ukuran dari Maqasid Syariah
Berkenaan dengan cara mengukur kesejahteraan tersebut sebelumnya kita lihat gambar tentang contoh pengukuran dan proyeksi diatas, meskipun dalam hal ukuran-ukurannya masih perlu di eksplorasi lebih lanjut, akan tetapi untuk memantik diskusi ,saya telah membuat ukuran dengan skala lima mulai dari 0, 5, 10, 15, 20 dan 25. Pertama, spiritualitasnya, bagaimana skala sejahteraan spiritualtas suatu masyarakat, ibadahnya dan amal sholehnya, kalau non-muslim bias pula diukur dengan tingkat kesalehan ibadah mereka. Hal ini menggunakan skor, apakah mereka masuk pada skor 0 atau 5 atau 10 hingga 25.
Kedua, Pendidikan. Mulai dari pra sekolah, SD/MI sederajat, SLTP sederajat, SLTA sederajat hingga Sarjana sederajat. Dengan cara ini bukan berarti bahwa ketika anaknya TK terus posisinya dibawah tidak begitu, tapi ketika anaknya berusia TK lalu anaknya sudah duduk di sekolah TK berarti nilai skornya 25, paling tinggi. Bbgitu seterusnya, maksud dari skala pada aspek pendidikan ini adalah keberpendidikan orang-orang pada keluarga tersebutsesuai dengan jenjang usianya.
Ketiga, Kesehatan. Kita bagi menjadi tiga hal, angka kematian bayi, angka kematian ibu dan tingkat konsumsi atau gizi. Keempat, sosial. Mereka kumpul atau tidak kumpul dalam aktivitas masyarakat (kegiatan). Maka tolok ukurnya adalah keaktifan mereka dalam kegiatan masyarakat, aktif dalam membuat komunitas, ikut lembaga arisan, komunitas kerja atau komunitas keagamaan, apakah mengikuti pengajian atau tidak.
Kelima, financial keluarga. Dalam financial ini, keluarga yang tidak bisa memenuhi biaya hidupnya (konsumsi), artinya dalam hidupnya selalu kekurangan. Dalam financial sekarang, semakin boros masyarakatnya, semakin makmur masyarakatnya. Semakin belanja, semakin makmur. Ukuran seperti ini masih bersifat bias. Untuk financial ini, untuk ukuran desa, kita masih belum menemukan, kalau memakai TAMZIS insyaallah sudah ada, apakah menabung, cicilannya lancar atau tidak dan tingkat pembiayaan selalu meningkat dan sebagainya.
Telah kitapahami bersama bahwa mengukur kesejahteraan finansial keluarga berbasis pedesaan dengan cara mengukur tingkat konsumsinya adalah tidak valid, karena banyak sekali kebutuhan masyarakat desa yang telah tercukupi tanpa harus melakukan transaksi keuangan. Sehingga mengukurnya berdasar konsumsi masyarakatmya akan menimbulkan bias.
Penutup
Dari semua itu, dapat disimpulkan bahwa :
Akhirnya dengan memohon maaf atas khilaf dan alpa serta selalu bermunajat kepada Allah agar diterangi dan dimudahkan jalan
Wallahu a’lam bi shawab
** CEO Permodalan BMT Ventura, Ketua KJKS Baituttamwil TAMZIS, Direktur CISFED.
by: Gibran
tolak ukur pertama yaitu spiritual adalah betul sebagai tolak ukur paling pertam dan utama, karena dengan menjadikannya sebagai tolak ukur utama maka akan lebih memperkecil kemungkinan salah persepsi pada obyek yang menjadi tolak ukur tersebut dan untuk melanjutkan ke tolak ukur selanjutnya juga akan semakin mudah, meskipun pada dasarnya semua tolak ukur memiliki ukurannya masing-masing
Katanya menjalankan syariah, masa para manajer bmt ketika summit di batam ama singapura pada borong barang black market, manaaaa syariahnya, padahal tahu hukum Allah???????