PERS RELEASE
“RANCANGAN UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
BERTENTANGAN DENGAN SEMANGAT PASAL 33 UUD 1945”
Pada hari ini, Senin 15 Nopember 2010 pukul 10.00 s/d 12.00, Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan BMT Indonesia (BMT Center) melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Pimpinan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tentang draft Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro (RUU-LKM)
Sebagai asosiasi dari salah satu jenis LKM yang kini operasional di Indonesia tentu saja kami menyambut baik akan adanya sebuah Undang-Undang (UU) yang terkait langsung dengan aktivitas utama kami. Kami cukup bersemangat menyimak dan mencermati naskah akademik (NA) dan RUU itu. Terlebih ketika membaca paragraf penutup dari latar belakang pada bab Pendahuluan yang berbunyi: ”Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum……”
Apresiasi kami mulai menurun ketika membaca uraian Identifikasi Masalah yang akan dijawab oleh RUU ini. Sebagian besar identifikasi itu mengindikasikan kekurangtahuan akan BAGAIMANA LKM SEKARANG BEROPERASI, dan keliru menentukan masalah apa yang harus diatur dan diselesaikan.
Naskah Akademik disusun antara lain sebagai dasar pemikiran yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis untuk pembuatan suatu peraturan hukum mengenai lembaga keuangan mikro, serta sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan, khususnya Anggota DPR RI dalam proses pembuatan undang-undang mengenai lembaga keuangan mikro. Menurut hemat kami, NA RUU LKM ini bisa menyesatkan Anggota Dewan, terutama karena 2 hal. Pertama, secara filosofis dan yuridis menggugat langsung UUD 1945 khususnya pasal 33, dan UU no 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Kedua, ketidakakuratan data mengenai LKM.
Berkenaan dengan penyesatan pertama digambarkan secara jelas oleh uraian Kerangka Hukum Koperasi dalam bab III tentang Definisi konsep dan asas yang digunakan dalam penyusunan norma. Antara lain ditulis: “Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya…”
Bagi kami, para penyusun naskah akademik ini sangat tidak memahami koperasi, dan tidak mustahil BERTUJUAN MELEMAHKAN GERAKAN KOPERASI DI INDONESIA. Mereka pun tak mengetahui upaya sungguh-sungguh para pegiat koperasi (konvensional maupun syariah) untuk memperbaiki diri secara terus menerus.
Ketidaktahuan dicerminkan pula oleh pengangkatan kasus tahun 2006 terkait BMT di Lampung dan Tegal dalam naskah akademik untuk mendukung kesimpulan operasional LKM yang meresahkan masyarakat. Jika demikian, kita bahkan bisa menggugat perbankan yang kasusnya justeru lebih dramatis. Tentu saja ada penyimpangan atau kasus BMT yang merugikan masyarakat, namun harus dianalisis secara proporsional. Pengaturan yang dibutuhkan untuk mengeliminasi kejadian serupa bukan “gebyah uyah” tentang keresahan. Lagipula jika penalaran itu benar, mengapa BMT selama 5 tahun ini tumbuh melampaui tingkat pertumbuhan perbankan. Bukankah usaha di jasa keuangan terutama sekali bermodalkan kepercayaan masyarakat?
Kami tidak menolak bahkan menghendaki adanya aturan main yang lebih jelas dan rinci sehingga memudahkan operasional kami. Kepastian hukum akan menguntungkan semua pihak, terutama rakyat kecil. Namun RUU LKM seharusnya didasari oleh empat hal utama. Pertama, RUU LKM itu disusun atas dasar pemahaman yang tepat mengenai bagaimana beroperasinya LKM saat ini. RUU harus menegaskan dan melegitimasi apa-apa yang baik dan bermanfaat buat rakyat banyak dan mengeliminasi hal-hal buruk. Kedua, RUU itu tetap dilandasi oleh UUD 1945 khususnya pasal-pasal tentang perekonomian. Ketiga, RUU itu benar-benar bertujuan dan bermaterikan perlindungan kepada usaha mikro, bukannya member kesempatan kepada para pemilik modal besar untuk memperkuat dominasinya. Keempat, RUU itu harus visioner, bisa mengantisipasi perkembangan perekonomian di masa mendatang, khususnya yang terkait dengan LKM dan usaha mikro.
Setelah mempelajari seksama, Naskah Akademik dan RUU Lembaga Keuangan Mikro yang ada, kami memiliki sikap sebagai berikut. Pertama, kami menolak jika tidak ada perubahan mendasar. Jika ditetapkan tanpa perubahan berarti, akan diajukan judicial review terkait semangat anti UUD 1945 dan pertentangannya dengan UU Koperasi.
Kedua, kami mendukung jika ada perubahan mendasar. Perubahan pasal-pasal sebenarnya MUDAH DILAKUKAN dengan asumsi dasar bahwa RUU LKM SEBENARNYA ADALAH RUU KOPERASI SIMPAN PINJAM. Jadi, hanya koperasi yang bisa menjadi LKM.
Sebagai tambahan, ada dua Peraturan Menteri tentang koperasi yang sudah operasional dan merupakan penjabaran lebih rinci dari UU Perkoperasian, khusus yang terkait dengan usaha simpan pinjam. Ada Peraturan Menteri Nomor 14/Per/M.KUKM/VII/2006 tentang Petunjuk Teknis Dana Penjaminan Kredit Dan Pembiayaan Untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Ada pula Peraturan Menteri Nomor 06/Per/M.KUKMI/I/2007 tentang Petunjuk Teknis Program Pembiayaan Produktif Koperasi Dan Usaha Mikro (P3KUM) Pola Syariah.
Kami cenderung agar RUU LKM yang sedang dibuat saat ini “menaikkan” status kedua Peraturan Menteri itu sebagai undang-undang. Tentu saja dengan penyesuaian kaidah formalnya sebagai UU, serta ditambah dengan perbaikan atas evaluasi perkembangan mutakhir. Ditambah lagi pertimbangan yang visioner tentang perekonomian nasional, khususnya industri keuangan.
Jakarta, 15 Nopember 2010
DPP BMT Center
Ketua II
Awalil Rizky