Sunday, November 24, 2024 0:32

Sosok Mbah Jumeno

Posted by on Tuesday, August 4, 2009, 15:04
This item was posted in Mikropreneur and has 0 Comments

Pada beberapa kesempatan ketika anak-anak berkumpul dan ruang komunikasi terjadi, saya menceritakan tentang sahabat orang tua saya ini kepada mereka. Ada beberapa tujuan yang ingin saya raih yaitu pertama; sebagai penghubung tali silaturrohim antara sahabat orang tua meskipun keduanya telah tiada, dan yang kedua; menceritakan pribadi beliau yang memang sungguh mengagumkan sehingga harapannya menjadi inspirasi bagi mereka.

Seperti halnya kekaguman saya mengenai sosok Mbah Jumeno yang mulai merebak lewat penuturan bapak saya tentang dirinya. Digambarkannya, sebagai pribadi yang nyaris sendirian berdiri mengajarkan agama kepada masyarakat yang dahulunya masih belum mengerti tentang agama dan banyak pula yang belum melaksanakan sholat.

Rasa kagumpun makin bertambah, tatkala menginjak usia dewasa, saya melihat sebuah madrasah yang kokoh dan besar telah berdiri. Sedangkan hampir semua tahu bahwa pembiayaan madrasah sebagian besar diambil dari semua gaji mbah Jumeno sebagai guru agama negeri di madrasah itu. Dari gajinya itu pula yang digunakan untuk memberi honor yang mungkin tidak seberapa bagi pada guru-guru honorer yang mengajar di sana.

Lantas, darimanakah beliau menghidupi keluarganya? Tadinya saya membuat simplifikasi dengan menyatakan bahwa tentu saja lazim bagi beliau karena kedudukan beliau yang putra mantan lurah dijamannya pastilah memiliki banyak tanah untuk diolah. Keyakinan yang terlalu menyederhanakan itu tetap terpelihara, sampai suatu ketika beliau hendak berangkat haji.

Adalah kelaziman di daerah kami jika ketika mengantar haji layaknya mengantar seseorang pada kematiannya, dan beliaupun sebelum berangkat membekali putra dan masyarakatnya dengan wasiat. Diantara wasiat tersebut beliau berkata ” kalian semua tahu tanah-tanah jalan, pinggir kali dan kuburan di kampung kita telah aku tanami pepohonan, maka rawatlah!, nanti kalau madrasah butuh diperbaiki, atau musholla ini perlu dibangun menjadi masjid, maka tebanglah pohon dan tanamlah kembali”.

Penasaran dengan wasiat yang unik itu besok paginya saya mencoba bertanya kepada Misro -seorang karyawan toko yang tinggal satu desa dengan beliau- tentang apa yang telah diperbuat Mbah Jumeno. Ternyata beliau membeli bibit-bibit kayu Sengon, Mahoni, Akasia, Mindri, Rimpang, Bambu, dll. Dan kemudian menyuruh anak-anak SD dan anak-anak muda menanami tanah-tanah bero yang tidak dipakai, juga tanah di pinggir desa di sekitar sungai serta di jalan-jalan masuk desa, kuburan. Pokoknya begitu ada tanah nganggur beliau minta untuk ditanami, hal ini kemudian memicu penduduk untuk ikut membantunya.

Kejadian ini yang menimbulkan pemikiran yang berbeda bahwa tindakan beliau yang sangat produktif inilah mungkin yang justru menjadi kunci dari “kemakmuran” dalam artian kecukupan dalam keluarganya meskipun harus sendirian membangun madrasah ibtidaiyah, menggaji guru-gurunya kemudian membawakan cahaya bagi masyarakat dilereng gunung Sindoro tersebut.

Pribadi mengagumkan ini mengajarkan kepada kita beberapa hal setidaknya sebagai berikut: bahwa betapapun usia sudah menua tapi kewajiban untuk beramal sholeh tidak menjadi reda atau dengan kata lain tidak ada kata pensiun bagi pejuang. Kedua, sikap optimisme sebagaimana bunyi hadits seandainya kita tahu besok hari kiamat dan masih ada kesempatan menanam pohon maka tanamlah pohon. Ketiga, produktifitas yang tinggi sehingga tidak boleh ada tanah yang mengganggur, bahkan lebih jauh, tak boleh ada sumberdaya yang menganggur.

Kita tentu sangat mafhum bahwa mengganggurkan suatu sumberdaya adalah pemborosan. Sehingga dalam kaitannya dengan sebuah aktifita, maka keadaan diam sesungguhnya bukanlah posisi netral, akan tetapi suatu beban. Tanah yang diam, maka akan tercipta tanah yang bero yang justru berpeluang menjadi tanah kritis; air yang diam akan mendatangkan penyakit; tenaga menganggur menciptakan kemalasan dan menimbulkan ongkos, setidaknya untuk tidur makan dan keperluan lainnya; Pikiran menganggur menjadikan matinya kreasi dan hampanya kebahagiaan, maka menggerakkan semua sumberdaya itu menjadi produktif sesungguhnyalah merupakan inti dari kehidupan. Bukankah Allah-lah yang menghidupkan bumi sesudah matinya?

Mengajari masyarakat untuk bertindak produktif seharusnya kita maknai bukan saja hanya terbatas pada ruang pribadi semata, akan tetapi lebih dari itu seharusnya kemudian kita siapkan pranata-pranatanya dan kita transformasikan kedalam masyarakat sehingga menjadi suatu gerakan bersama pada masyarakat sosial.

Beberapa tahun silam saya pernah melihat di daerah kuningan terdapat suatu adat dimana dalam satu rumah tangga harus terdapat kolam ikan, kebun sayur dan kandang unggas. Kebiasaan ini dari sisi tata kelola harta-benda (Wealth Management) merupakan suatu bentuk kegiatan produksi yang juga merupakan bentuk kegiatan simpanan (saving) serta kegiatan investasi yang berlangsung sekaligus.

Proses produksi tercipta dari usaha bertanam dan beternak yang menghasilkan hasil berupa buah atau sayur serta unggas yang menghasilkan telur atau daging, pada saat yang sama kegiatan tersebut juga merupakan kegiatan menabung (saving) dimana hasil ternak maupun ikan bisa diambil sewaktu-waktu jika diperlukan, mungkin karena kedatangan tamu, atau untuk kegiatan-kegiatan social maupun upacara adat dan sekaligus dapat memberi nilai tambah layaknya suatu kegiatan investasi.

Banyak keuntungan dari pembiasaan hidup produktif semacam ini diantaranya anak-anak menjadi lebih terpelihara kecukupan gizinya sehingga tumbuh sehat, lebih pintar dan terbiasa untuk bersifat produktif. Disisi yang lain masyarakat semacam ini memiliki ketahanan terhadap guncangan yang lebih tinggi pula, karena mekanisme semacam tabungan dalam bentuk non cash dalam arti segala jenis cadangan atau penempatan yang tidak dalam bentuk uang, sehingga ketika terjadi persoalan-persoalan yang bersifat tidak terduga dan menimbulkan kerentanan seperti panen puso, kecelakaan, musibah, sakit, dll. masyarakat tersebut relative memiliki daya tahan yang lebih tinggi.

Ketika saya sering berkeliling ke daerah Wonogiri, Sragen, Karangannyar atau ke sekitaran Bogor dan setiap kali melihat tanah yang dibiarkan menganggur, atau sungai yang keruh dan penuh sampah, saya selalu rindu pada pribadi Mbah Jumeno.

Comments are closed.